“Sebagai jawabannya Soekarno membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,”
Lapan6Online | Jakarta : Menilik bagaimana hubungan antara Indonesia dan Palestina sudah serupa jantung dan paru-paru. Sangat erat dan saling membutuhkan. Hal ini diungkapkan oleh sosok aktivis muda Royan Khalifah
Saat para tokoh dan rakyat Indonesia menggaungkan kemerdekaan, sokongan yang diberikan oleh pemerintah dan rakyat Palestina terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia amatlah besar. Bahkan setahun sebelum Indonesia merdeka, pada 6 September 1944, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt dituliskan bahwa sejak dukungan yang disampaikan secara terbuka melalui siaran radio oleh Syekh Muhammad Amin Al-Hussaini, tersebut jalanan di Palestina dipenuhi gelombang aksi solidaritas dan dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat di kawasan Timur Tengah. Seorang saudagar Palestina tak lupa membantu Indonesia secara materi. “Terimalah kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” Muhammad Ali Taher, saudagar Palestina itu, saat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1944.
Setelah merdeka, saat Indonesia membutuhkan pengakuan internasional sebagai negara berdaulat, lagi-lagi rakyat Palestina bergerak, mendorong Mesir untuk mengakui Indonesia. Pengakuan kedaualatan dari Mesir dan Palestina pada 1947, itu merupakan buah diplomasi Haji Agus Salim melalui jaringan Ikhwanul Muslimin, yang waktu itu berbasis di Palestina.
Maka, Indonesia pun membalas simpati, empati, dan aksi Palestina itu dengan sokongan yang sama. Presiden Soekarno, dalam berbagai forum tak lelah memekikkan dukungan untuk perjuangan kemerdekaan Palestina itu. Bung Karno pun berjanji melalui pidatonya pada 1962, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Dukungan Presiden pertama Republik Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tak terbantahkan dan selalu konsisten. Bukan sekadar lewat kata-kata, melainkan juga dibuktikan melalui tindakan nyata. Meskipun Bung Karno belum pernah menjejakkan kaki di tanah Palestina, namun jejak dukungan Sang Proklamator Indonesia untuk kemerdekaan Palestina itu telah terpatri dalam catatan emas sejarah.
Indonesia tak pernah mau mengakui negara Israel yang diproklamasikan oleh David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Itulah sebabnya sejak zaman Bung Karno, Indonesia tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Beragam rayuan Israel pun tak pernah membuat Indonesia beringsut dari sikap menolak penjajahan Israel tersebut.
Dukungan Bung Karno terhadap Palestina juga ditunjukkan saat mulai menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1953. Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Bung Karno menyebutkan bahwa Israel yang didirikan atas bantuan Inggris ialah bentuk nyata kolonialisme baru yang mengancam perdamaian dunia. Sebaliknya, saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955, Soekarno mengundang Palestina meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, pun datang dan mewakili kepentingan Palestina.
Dalam pidato pembukaan KAA, Bung Karno secara lantang memberikan dukungan kepada negara-negara yang masih mengalami penjajahan. “Kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya,” kata Soekarno.
Komitmen serupa disuarakan kembali oleh Presiden ketujuh Indonesia Joko Widodo saat 60 tahun Konferensi Asia Afrika Bandung pada 2015. “Saya serukan dalam Konferensi Asia-Afrika ini, mari kita gelorakan kembali semangat Bandung. Kemerdekaan Palestina harus terus diperjuangkan,” kata Presiden Joko Widodo saat membacakan pidatonya pada konferensi yang diikuti 91 negara tersebut.
Dukungan terhadap Palestina juga dilakukan di luar jalur politik. Ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962, pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dengan alasan Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik. Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia hingga batas waktu yang tak ditentukan.
Toh, hukuman itu tak membuat Bung Karno berbalik arah. Sebaliknya, Bung Karno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. “Sebagai jawabannya Soekarno membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.
Kini, konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas. Aksi brutal militer Israel kepada rakyat sipil Palestina, bahkan perempuan dan anak-anak, beberapa waktu terakhir, di kompleks Masjid Al-Aqsha itu telah merenggut 84 nyawa. Palestina kembali mengetuk hati Indonesia untuk membantu perjuangan mereka meraih kemerdekaan.
Lagi-lagi, Presiden Joko Widodo pun menyampaikan posisi tegas Indonesia terkait tindakan Israel mengusir warga Palestina dari Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, yang disertai dengan penyerangan terhadap warga sipil Palestina di Masjid Al-Aqsha tersebut. “Bapak Presiden menyampaikan bahwa Indonesia mengutuk tindakan tersebut dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah nyata terhadap pelanggaran yang terus dilakukan oleh Israel. Indonesia akan terus mendukung perjuangan rakyat Palestina,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pernyataannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, tengah pekan ini.
Jantung dan paru-paru itu kini kembali menyatu, memompakan oksigen ke sekujur tubuh dunia, membawa pesan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, termasuk Palestina. Kekerasan, kebrutalan harus diakhiri dengan perdamaian abadi dan tata dunia yang adil, khususnya untuk Palestina. TWS