OPINI
“Akibatnya, rakyat akan terus dipalak dengan berbagai pajak. Benarlah bahwa BUMN bukan milik negara lagi, melainkan milik segelintir orang hingga sesuka hati dalam mengelolanya,”
Oleh : Ria Anggraini, S.Hum
KINERJA BUMN Indonesia terus mengalami kerugian hingga kuartal kedua tahun 2021 ini. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk misalnya, menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo atau biasa disapa Tiko mengatakan, beban biaya yang dikeluarkan tiap bulannya sekitar US$ 150 juta. Sementara, pendapatannya hanya US$ 50 juta. (finance.detik.com, 4/6/2021).
Menteri BUMN Eric Thohir mengungkapkan utang PT PLN (Persero) saat ini mencapai Rp 500 triliun. Erick mengatakan, salah satu cara yang dilakukan untuk membenahi keuangan PLN ialah menekan 50% belanja modal (capital expenditure/capex). (finance.detik.com, 4/6/2021)
Keadaan ini diperparah dengan meruginya perusahaan konstruksi BUMN. Perusahaan BUMN Karya mengalami kerugian tahun kemarin. Adapun laporan keuangan yang dirilis perusahaan konstruksi BUMN di antaranya, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Waskita mengalami kerugian hingga Rp7,3 triliun. (economy.okezone.com, 5/6/2021)
Keadaan ini tentu sungguh memprihatinkan. Mengapa berbagai Badan Usaha Milik Negara ini tidak mampu mengangkat kesejahteraan rakyat? Apa sebenarnya akar permasalahan dari pengelolaan BUMN?
Sistem Kapitalisme Gagal Mengelola Harta Negara
Serangkaian kemelut utang BUMN ini terjadi karena salah kelola penguasa terhadapnya. BUMN yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat banyak justru diperah untuk memenuhi ambisi penguasa. Fungsi bisnis BUMN akhirnya lebih menonjol daripada fungsi pelayanannya.
BUMN tak ubahnya seperti ‘korporasi swasta’ yang mengedepankan bisnis untuk mengejar keuntungan maksimum dari rakyat. Mirisnya, fungsi bisnis BUMN pun ternyata tak berjalan. Sudahlah tak optimal menyumbang keuntungan pada negara, BUMN justru menjadi masalah bagi negara.
Tak hanya itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Kementerian BUMN adalah lahan basah bagi-bagi kue kekuasaan dalam rangka mengakomodasi para pendukung dan pemodal atas terpilihnya penguasa hari ini. Komisaris BUMN yang diangkat tidak memiliki pengalaman di korporasi. Ini jelas membuktikan bahwa benar BUMN kini hanya menjadi ‘sapi perah politik’ dan ‘bagi-bagi hadiah’ untuk tim sukses, Hal seperti ini merupakan hal yang tidak asing pada sistem kapitalis, berbagai kursi penting diberikan kepada orang-orang yang tidak kompeten.
Mirisnya, untuk menyelamatkan BUMN, rakyatlah yang menjadi korban. APBN dari pajak rakyat digunakan untuk memberikan suntikan modal kepada BUMN. Akibatnya, rakyat akan terus dipalak dengan berbagai pajak. Benarlah bahwa BUMN bukan milik negara lagi, melainkan milik segelintir orang hingga sesuka hati dalam mengelolanya. Saat BUMN untung, mereka yang menikmati. Sementara ketika merugi dan berutang, masalahnya dibagi-bagi kepada rakyat. Pemerintah yang salah dalam mengelola BUMN, rakyat yang justru dijadikan sebagai tumbal.
Inilah yang terjadi pada sistem kapitalis saat ini, di mana fungsi negara dengan rakyat hanyalah seperti pedagang yang sedang berjual beli dengan pelanggannya. Negara mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari rakyat dan rela mengorbankan rakyat saat diperlukan. Jelas jauh dengan perannya yang seharusnya seperti pelayan yang mengurusi tuannya.
Pengelolaan Kekayaan Negara dalam Islam
Harta milik negara adalah izin dari pembuat hukum yaitu Allah Swt. atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara, seperti harta ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ‘ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara.
Harta tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat dan tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada swasta. Dalam Islam, kepemilikan umum seperti migas dan sumber daya alam tidak boleh diprivatisasi. Privatisasi berarti akan meniadakan hak-hak publik menggunakan dan mengonsumsinya. Industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum yaitu BUMN, harus bebas dari privatisasi.
Jika diibaratkan tangan kanan dan kiri, maka BUMN adalah tangan kiri bagi tangan kanan (negara). Keduanya harus bersinergi agar hak-hak publik atas kekayaan alam bisa dinikmati secara adil dan bijaksana.
Perubahan yang dilakukan haruslah dimulai dari perubahan cara pandang penguasa terhadap pembangunan. Bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk menangguk keuntungan dari rakyat.
Butuh juga perubahan pada paradigma penguasa terhadap utang. Bahwa membangun tanpa utang dan pajak adalah sebuah keniscayaan. Asalkan kepemilikan umum dikelola secara mandiri oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Penguasa tidak boleh terjebak pada proyek prestisius namun minim manfaat. Apalagi jika ternyata proyek tersebut hanya menguntungkan korporasi saja. Atau bahkan dijadikan bancakan kolega dan keluarga saja.
Hendaklah para penguasa menghayati hadis Rasulullah saw. berikut,
“Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim)
Model pembangunan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat telah dipraktikkan Khilafah selama berabad-abad. Sehingga kemakmuran dan pemerataan pembangunan terwujud di seantero negeri. Penguasa sibuk memberdayakan seluruh aset negara (termasuk BUMN) untuk kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan pribadi dan korporasi.
Inilah model pembangunan yang harus kita wujudkan, bukan model kapitalistik yang doyan ngutang dan membebani rakyat. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah