“Itu yang menyedihkan, kita jadi melihat fenomena bagaimana sejarah berulang. Tapi Belanda-nya kepalanya item,”
JAKARTA | Lapan6Online.com : Para sejarawan mencatat fenomena mural telah muncul di era perjuangan kemerdekaan. Begitu pun saat ini, mural di zaman kemerdekaan juga sama-sama menyuarakan jeritan suarat rakyat. Fungsinya sebagai alarm peringatan bagi pemerintah agar lebih sensitif.
Sejarawan JJ Rizal menyayangkan upaya penghapusan mural yang marak muncul pada Agustus lalu.
Mural di zaman perjuangan juga muncul di berbagai daerah seperti saat ini, yaitu Yogyakarta, Malang, dan Semarang. “Mereka pakai cat di tembok-tembok yang menjadi wilayah dari Belanda, bukan wilayah republik. Mereka tulis itu bahwa ini wilayah kami,” ungkap Rizal.
Pernyataan lewat mural itu dibuat untuk melawan propaganda Belanda yang ingin menjajah kembali bumi pertiwi. Ada kerisauan di kalangan rakyat saat itu bahwa kemerdekaan akan dirampas kembali oleh Belanda.
Dari dokumen foto-foto sejarah, seniman saat itu ada di front terdepan untuk menghadapi kolonial. Mereka sebagai bagian dari revolusi, berjuang lewat mural dan grafiti.
“Mereka tidak bisa angkat senjata. Tapi mereka bisa angkat cat dan kuas,” kata Rizal.
Fenomena mural di sejarah revolusi muncul setelah proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1950. “Mural-mural di tahun ’45 sampai ’50 itu juga dirazia mural-muralnya itu,” beber Rizal.
Jadi ketika sekarang mural-mural itu dirazia di bulan Agustus, hal ini seakan sejarah terulang kembali. “Itu yang menyedihkan, kita jadi melihat fenomena bagaimana sejarah berulang. Tapi Belanda-nya kepalanya item,” ujar Rizal.
Lebih lanjut, mural yang kritis dinilai sebagai alarm peringatan bagi pemerintah. Mural atau grafiti muncul sebagai cetusan dari hati nurani rakyat. “Didorong oleh masalah-masalah yang mereka rasakan,” kata Rizal.
Oleh sebab itu, kritikan dari mural itu tidak bisa dibilang sebagai sindiran atau mencemooh semata. “Mereka memang mencemooh, mereka memang menyindir, mereka bahkan marah,” kata Rizal. Namun, hal tersebut merupakan hal yang sah dalam kehidupan demokrasi.
Seni mural menggabungkan dua unsur dalam sebuah karyanya. Yakni penggunaan diksi dan visual. Keduanya disatu padukan untuk mengetuk perasaan orang karena ada suatu kondisi mendesak menyangkut hidup. “Seni itu kan alat untuk menyentuh perasaan,” terang Rizal.
Pegiat sejarah, Rully Agassi menambahkan, mural di era perjuangan dibuat para pemuda untuk melawan penjajah dan mendukung republik. Mural dibuat di tembok-tembok dan kereta api, dan menyebar hingga ke luar Jakarta.
Seniman mural bergabung di front terdepan dengan mengangkat kaleng cat dan kuasnya. “Mereka menggalakkan moral, semangat juang, dan menyerukan perlawanan mati-matian terhadap musuh,” ungkapnya.
Seniman berjuang mengkritik Belanda yang ingin merenggut kembali kemerdekaan Indonesia. Mereka melawan propaganda kolonial bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diinginkan segelintir elit saat itu.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Mabes Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan bisa jadi mural-mural yang mengkritik pemerintah itu bukan dihapus.
“Katakanlah pemerintah tidak mau dikritik, tapi bisa jadi pemerintah tadi tidak melihat kritiknya, tapi tulisan-tulisan atau coretan itu membuat yang tadinya indah menjadi berkurang,” terangnya. Sehingga media yang terdapat mural tadi dikembalikan ke semula. “Bukan dihapus,” ujarnya.
Kepala Satpol PP Kota Bandung, Rasdian Setiadi melihat fenomena mural dari sudut pandang Perda tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan.
“Terkait adanya mural yang kelihatannya seperti foto gambar presiden kita yang ditutup masker, kita tidak tahu motif dan tujuannya apa. Tetapi Satpol PP melihatnya bukan dari situ,” ujar Rasdian.
Pihaknya melihat aktivitas seniman mural dari Perda 9/2019 tentang Ketertiban Umum, Ketentraman dan Perlindungan Masyarakat. Sesuai peraturan itu, pelanggar yang mengotori dinding, tembok, halte, tiang listrik, dan sebagainya bisa dikenakan sanksi. Baik denda maksimal Rp 1 juta dan atau kurungan penjara maksimal 3 bulan. (detikcom)