Childfree : Benarkah Tanpa Anak, Tanpa Beban?

0
74
Ilustrasi

OPINI

“Kebebasan berpendapat yang menjajakan ide kebebasan harus diberikan jalan. Indikasinya jelas saat penguasa mendiamkan ide kontroversi ini, dan cenderung adem-ayem menanggapinya,”

Oleh : Dina Aprilya

BELAKANGAN ini istilah childfree ramai menjadi perbincangan di sosial media, bahkan di beberapa media sosial di Indonesia, di Twitter, Youtube maupun platform media online lainnya menjadi trending topik perbincangan masyarakat digital.

Istilah ini digunakan bagi orang yang sudah menikah namun memilih sikap untuk enggan memiliki keturunan. Baik itu anak kandung, anak tiri maupun anak adopsi. Hal tersebut juga sempat disoundingkan oleh salah satu influencer Gita Savitri, dalam salah satu acara wawancaranya yang diunggah di youtube itu dia menyampaikan bahwa salah satu reason kenapa dia memilih sikap untuk Childfree adalah karna faktor finansial dan kesiapan mental orang tua untuk memiliki dan mendidik anak (Kumparan.com, 21/08/2021).

Memang sikap tersebut menjadi hak privasi masing-masing yang semestinya tidak dicampuri orang lain akan tetapi bila sikap tersebut dapat mempengaruhi orang banyak maka hal ini bisa menjadi polemik. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi komunitas yang mengaku diri sebagai Childfree Community, di antaranya adalah kekhawatiran genetik, faktor finansial, mental yang tidak siap menjadi seorang ibu, bahkan alasan lingkungan (Kumparan.com, 21/08/2021).

Jika kita menelisik lebih jauh, ini adalah hal yang wajar dalam atmosfer sekularisme. Berangkat dari sebuah persepsi bahwa manusia bebas dalam menentukan pilihan, bebas menetapkan standar kehidupan, baik dan buruk, benar dan salah berdasarkan pemikiran manusia.

Meski kesan yang ditangkap mayoritas atas ide sekuler ini bahwa masing-masing pasangan memiliki pilihan untuk memutuskan memiliki anak atau tidak, namun dalam perkembangannya ide kian nampak diusung oleh aktivis feminis. Berlindung dibalik fatamorgana HAM, yang seolah melindungi kebebasan. Tubuhku otoritasku tak lain merupakan ide yang muncul dari konsep yang menganggap bahwa budaya patriarki telah mendudukkan perempuan di bawah supremasi kaum laki-laki.

Pilihan untuk memiliki anak atau tidak adalah pemikiran yang memihak kaum perempuan sekaligus mengakhiri penindasan laki-laki atas perempuan. Alih-alih berbicara secara alamiahnya seorang perempuan, yang ditonjolkan justru kondisi perempuan yang mengalami penindasan karena tak memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri. Tanpa menyadari, besarnya peran dan mulianya seorang Ibu yang mampu melahirkan dan mendidik anak-anaknya.

Sensitivitas isu feminisme sangat kental dalam ide childfree ini. Lantas, bagaimana tanggapan sistem atas hal ini? Bisa ditebak tentunya, kebebasan berpendapat yang menjajakan ide kebebasan harus diberikan jalan. Indikasinya jelas saat penguasa mendiamkan ide kontroversi ini, dan cenderung adem-ayem menanggapinya.

Dengan sendirinya ide ini jelas berseberangan dengan konsep pernikahan sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum syara’. Islam memiliki pandangan yang khas terkait tujuan pernikahan yang sejatinya untuk melestarikan keturunan. Fitrah itu tidak berubah.

Jika Allah telah ciptakan potensi hidup pada manusia, yakni berupa akal, naluri, dan hajatul udhawiyah (kebutuhan jasmani), itulah fitrah pada manusia. Pun ketika salah satu naluri, yaitu naluri nau’ (naluri untuk melanjutkan keturunan) itu juga salah satu bagian dari potensi yang diciptakan Allah bagi diri manusia, hal itu juga tidak akan berubah. Terkait hal ini, Allah Swt. berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (TQS Ar-Rum [30] : 20).

Islam juga tidak pernah membatasi jumlah anak. Islam menegaskan bahwa anak adalah rezeki. Rezeki masing-masing anak adalah dalam jaminan Allah.

Ketika kita memegang Islam dengan sungguh-sungguh, kita tidak akan ragu untuk memiliki anak. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya (30). Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (31).” (TQS Al-Isra [17]: 30-31).

Jadi, jelas sekali pola pikir childfree yang salah atau semacamnya, adalah pola pikir yang keliru, bahkan melawan fitrah penciptaan manusia yang telah diberikan oleh Allah. Tak kalah keliru juga ketika motif ekonomi dan pertimbangan karier duniawi menjadi dalih untuk melakukan childfree.

Islam telah sempurna, memposisikan perempuan sebagai al Umm wa robbatul bayt, Ibu sekaligus pengatur rumah tangganya. Adapun kewajiban mencari nafkah telah Allah letakkan di pundak suami.

Sehingga seruan childfree karena menganggap anak sebagai penghalang untuk eksis sebagai wanita karir tentu adalah bentuk pembangkangan pada fitrah perempuan. Jadi tidak akan ada lagi kekhawatiran dalam menikah dan memiliki anak dalam Islam dan ide childfree semacamnya, karena Islam menjamin semua kebutuhan setiap individu masyarakatnya. Wallahhu A’lam Bishshowab. (*)

*Penulis Adalah Mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini