“Radikalisme itu mudah sekali menyebar lewat medsos. Ruang-ruang kebebasan itu justru dimanfaatkan untuk menyebarkan ide-ide yang radikal itu. Makanya kita perlu perkuat lagi dengan literasi digital dan etika dalam memanfaatkan ruang digital,”
Jakarta | Lapan6Online : Kebebasan dalam bermedia sosial sering dimanfaatkan keliru oleh masyarakat. Sehingga, ujaran kebencian dan permusuhan sering terjadi di ranah dunia maya tersebut.
Menurut anggota Komisi I DPR RI, Krisantus Kurniawan, hal itu bisa terjadi karena etika dan nilai-nilai Pancasila tidak diterapkan saat bermedia sosial. Dampaknya, mereka jadi terpolarisasi bahkan bisa timbul perpecahan di media sosial.
Krisantus menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam Webinar Literasi Digital yang digelar Kemkominfo RI bekerja sama dengan Komisi I DPR RI dengan tema “Menjadi Masyarakat Digital yang Beretika dan Berbudaya”, Jumat (17/9/2021).
Ia mengatakan, sangat penting untuk melatih kematangan dalam bermedia sosial. Pasalnya, fakta menunjukkan bahwa ujaran kebencian terus aktif dari waktu ke waktu. Bahkan, intensitas ujaran kebencian di media sosial belum juga mereda hingga saat ini.
“Sehingga kita harus lebih mengedepankan nilai etika dan budaya saat berinternet agar mampu membedakan miss informasi, disinfomasi dan malinformasi,” ujarnya.
Senada dengan Krisantus, narasumber lainnya yakni Guru Besar Fisip Unair, Prof Henri Subiakto, mengatakan, dunia digital juga sering membuat masyarakat terkotak-kotak. Tak hanya itu, kata dia, ancaman radikalisme juga terus menghantui di media sosial.
Sehingga, menurut dia, nilai-nilai Pancasila harus dijadikan pegangan dalam bermedsos.
“Radikalisme itu mudah sekali menyebar lewat medsos. Ruang-ruang kebebasan itu justru dimanfaatkan untuk menyebarkan ide-ide yang radikal itu. Makanya kita perlu perkuat lagi dengan literasi digital dan etika dalam memanfaatkan ruang digital,” kata Henri.
“Kalau kita bisa memupuk keragaman dan menghormati perbedaan-perbedaan, sama dengan kita memupuk ciptaan Tuhan,” lanjutnya.
Henri mengungkapkan, tak sedikit orang yang merasa nyaman di medsos. Karena, mereka ketika di dunia nyata tidak dianggap dan tidak diakui.
“Tapi dia justru mendapat panggung di medsos. Banyak yang follow, ngelike dan lain-lain. Makanya dia merasa jadi orang ketika berada di medsos,” ujar dia.
Sementara itu, akademisi dan peneliti Auliya Khasanofa, mengatakan, nilai-nilai Pancasila harus dihadirkan dalam ruang digital. Termasuk kontennya juga harus penuh dengan nilai-nilai Pancasila.
“Ketika muncul pemahaman yang minim atas Pancasila, itu berbahaya. Karena nanti tidak punya kemampuan memahami kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi publik. Termasuk tidak paham mana konten yang benar dan hoaks, yang bermanfaat dan tidak bermanfaat,” katanya. (*YP)