OPINI
“Ada yang terkuburkan karena lekang oleh masa, tetapi ada juga yang terlihat sengaja dikuburkan oleh pemegang peradaban saat ini. Tentunya jejak sejarah ini tetap harus diketahui oleh generasi saat ini dan generasi masa depan,”
Oleh : Zhuhriana Putri
INDONESIA, negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, menyimpan berlapis-lapis jejak sejarah peradabannya. Tak luput dari sejarah bagaimana awal mula Islam masuk di Nusantara hingga menjadikannya negeri mayoritas beragamakan Islam.
Begitu juga bagaimana sejarah para Sultan di Nusantara yang berhasil melawan penjajah. Semua sejarah itu tidak terlepas dari peran negara adidaya pemegang ideologi Islam di masanya, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Namun sayangnya, berlapis-lapis sejarah tersebut seolah-olah terkuburkan di negeri yang dulunya menjadi bagian Nusantara ini.
Diantaranya ada yang terkuburkan karena lekang oleh masa, tetapi ada juga yang terlihat sengaja dikuburkan oleh pemegang peradaban saat ini. Tentunya jejak sejarah ini tetap harus diketahui oleh generasi saat ini dan generasi masa depan. Karena tanpa mengenal sejarah kita tidak dapat mengenal bangsa kita sendiri.
Kejayaan Kesultanan Nusantara Bersama Khilafah
Abad ke-17 menjadi pusat kegemilangan Islam di Nusantara. Tidak hanya di Aceh, kegemilangan Islam yang diterapkan para Sultan juga dirasakan mulai dari Banten dan Mataram di tanah Jawa, sampai ke Makassar dan Buton di sebelah timurnya. Yang semua diberikan legitimasi kekuasaan oleh Khilafah Utsmaniyyah yang ada di Istanbul melalui gubernurnya yang ada di Mekkah.
Abad kegemilangan ini menjadikan negara-negara Eropa (seperti Inggris, Perancis, dan Denmark) tidak berani menjajah begitu juga dengan Portugis. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan jihad dan teknologi pendukung yang diberikan Khilafah Utsmaniyyah kepada rakyat Aceh.
Sejarah mencatat Kesultanan Banten sebagai Kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa yang mengajukan ketaatan dan baiat kepada Khilafah Utsmaniyyah. Tahun 1636, Sultan Banten yang keempat (Sultan Abu Mafakir Mahmud Abdul Qadir) mengirim tiga orang penting Banten sebagai utusan ke Makkah. Begitu juga pada tahun 1639, Sultan Agung juga mengirimkan utusannya untuk meminta pengakuan kekuasaan oleh Khilafah Utsmaniyah yang pada saat itu dipimpin oleh Khalifah Sultan Murad IV. Para utusan Sultan menemui seseorang di Mekkah yang bernama Sarip Jahed.
Hal ini tercatat dalam Manuskrip Sajarah Banten, dimana Sarip Jahed tersebut adalah Gubernur Utsmaniyyah di Hijaz yang bernama asli Syarif Zayd Bin Muhsin AL-Hasyimi.
Tidak hanya penguasa Aceh, Banten, dan Mataram, ketaatan ini diikuti oleh penguasa Gowa di Makassar. Mannuntungi Daeng Mattolang, penguasa Makassar ke-15, juga mengirim utusan ke Mekkah hingga penguasa Makassar tersebut mendapat gelar Sultan Muhammad Sa’id dari Khilafah Utsmaniyyah. Sehingga relasi antara sultan-sultan di Nusantara dengan Sultan Rum (sebutan untuk Khalifah dalam Kekhilafahan Utsmaniyyah) menjadi hal yang dibanggakan di Nusantara.
Ternyata relasi yang terjalin diantara para Sultan di Nusantara tidak hanya terjadi pada Khilafah Utsmaniyyah, namun juga terjadi dengan Khilafah Abbasiyah. Dimana relasi ini terjadi dalam penggunaan cap-cap atau stempel-stempel mereka. Hingga ada sekitar 320 sultan dan pejabat di Nusantara yang memakai gelar-gelar Khilafah Abbasiyyah. Seperti Al-Mu’tashim Billah, Al-Watsiq Billah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, dan sebagainya.
Kedekatan Hubungan Sultan Nusantara dengan Khilafah
Kedatangan para penjajah dari Portugis kemudian setelahnya Belanda, membangkitkan perlawanan para Sultan dan rakyat di Nusantara.
Namun perlawanan ini tidak mampu dimenangkan tanpa adanya bantuan dari negara adidaya Islam, Daulah Khilafah, pada masa itu. Pada tahun 1566, Sultan Aceh membai’at Khalifah Selim II Bin Sulayman Al-Qanuni, dan juga meminta bantuan Khalifah untuk mengirimkan senjata dan pasukan perang untuk melawan portugis. Sehingga pada tahun 1568, Aceh berhasil menyerang Portugis di Malaka yang dipimpin oleh Sultan Alauddin.
Di masa penjajahan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1849, Sultan Aceh mengirim surat kepada khalifah Abdul Majid I untuk memperbarui baiat kesultanan Aceh. Dengan baiat inilah Sultan Mansyur Syah berharap dapat menjadi pemersatu perlawanan seluruh Sultan Asia Tenggara di bawah naungan Khilafah Utsmaniyyah.
Surat dikirim tahun 1849 ditulis dalam bahasa Melayu. Setahun berikutnya, tepatnya pada 17 Maret 1850, Sultan Mansyur Syah kembali mengirim surat ke Khilafah Utsmaniyyah. Kali ini semuanya ditulis dalam bahasa Arab.
Didalamnya Sultan Mansyur Syah meminta kepada Khalifah Abdul Majid I sebuah titah Kesultanan untuk menjadikan seluruh Nusantara bersatu melawan dengan jihad fisabilillah. Pada tahun 1854, anak dari Sultan Mansyur Syah, Tuanku Husayn, memimpin 200 armada perang Aceh ke pesisir Sumatera Timur untuk menjadikan sultan-sultan di Deli, Langkat, dan Serdang sebagai Wazir Sultan Aceh.
Enam tahun berselang setelah Sultan Mansyur Syah mengirim suratnya ke Khalifah Abdul Majid I, surat serupa juga datang dari Pulau Penyengat. Yang Dipertuan Muda Riau ke-8, Raja Ali bin Raja Jafar, dengan pembukaan surat yang sama persis dengan apa yang ditulis Sultan Mansyur Syah Aceh pada tahun 1857.
Kesultanan Riau secara rutin mengirimkan ulama-ulamanya untuk belajar ke pusat dunia islam. Mereka membangun pusat ilmu pengetahuan di Pulau Penyengat yang berada di tengah jalur Selat Malaka. Dari pulau ini lahir ulama-ulama terkemuka.
Raja Ali Haji yang merupakan saudara sepupu Raja Ali bin Raja Jafar, penguasa Riau, yang mengajukan negerinya menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniyyah memberikan sumbangan keilmuan yang cukup besar bagi Nusantara yang salah satunya berupa Bahasa Indonesia dimana tata bahasanya dirumuskan pertama kali di pulau ini.
Kepedulian Khilafah terhadap Kaum Muslim di Nusantara
Khalifah Abdul Hamid II mendirikan Konsulat di Batavia dan Singapura sebagai wujud kepeduliannya terhadap Muslim Nusantara. Penjajah melihat bahwa Daulah Utsmaniyyah menaruh perhatian besar terhadap Muslim di wilayah Nusantara dan Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial mencurigai konsulat Utsmani ini sebagai tempat untuk memprovokasi kaum Muslim melawan Belanda dan Inggris. Sejak tahun 1882, Khalifah Abdul Hamid II mengutus 10 konsulat di Batavia yang menjadi jantung pemerintahan Hindia-Belanda. Hadirnya konsulat-konsulat di Batavia menjadi harapan baru bagi sultan-sultan Nusantara yang masih teguh berjihad fi sabilillah melawan kafir penjajah.
Melanjutkan Perjuangan Khilafah di Nusantara
Jejak-jejak yang terkuburkan ini menjadi bukti nyata akan peran Negara Khilafah dalam melawan penjajah di Nusantara. Maka tidak sepatutnya jika hari ini negara Indonesia, yang dulunya menjadi bagian Nusantara, melawan perjuangan untuk penegakan Khilafah.
Karena sejatinya masyarakat telah menunjukkan dukungannya terhadap penegakan Khilafah. Salah satu bukti dilihat dari bagaimana antusiasmenya masyarakat yang menyaksikan penayangan perdana Film Jejak Khilafah di Nusantara 2 pada 20 Oktober 2021 kemarin.
Tercatat 359.971 penonton Film JKDN 2 dalam sehari. Sudah saatnya negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini memperjuangkan penerapan kembali Khilafah yang akan mampu menyelamatkan bangsa ini dari segala permasalahan peliknya seperti saat Khilafah membantu Nusantara dalam melawan penjajah dahulu kala. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Mahasiswa USU