Respon Putusan 103, KSBSI: Hakim MK Gagal Tegakan Hukum sebagai Panglima

0
14
DEN KSBSI saat aksi tolak Omnibus Law Cipta Kerja. (Foto: Istimewa).

Lapan6Online | JAKARTA : Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sidang Judicial Review uji Formil dan Materiil UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 telah menuai polemik tersendiri.

Putusan tersebut dibanjiri dengan berbagai komentar negatif, seperti tidak berpihak terhadap buruh, tidak memberikan kepastian hukum, mempermainkan konstitusi dan rakyat, bahkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan 10 Federasi afiliasi KSBSI menyebut 5 Hakim Mahkamah Konstitusi Gagal Menegakan Hukum sebagai Panglima.

Dalam konferensi pers-nya, KSBSI dan 10 Federasi afiliasi KSBSI menyatakan sikap tegas atas putusan MK terutama untuk Perkara yang digugat KSBSI, yakni perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020, KSBSI dan 10 Federasi menyatakan, bahwa 5 Hakim Mahkamah Konstitusi Gagal Menegakan Hukum sebagai Panglima.

“Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, kekuasaan apapun di negeri ini, baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif adalah berada di bawah kekuasaan judikatif atau pengadilan, apalagi pengadilan bertaraf Mahkamah Konstitusi yang berfungsi untuk menjaga supremasi konstitusi dan hak asasi manusia, serta menegakkan hukum dan keadilan.” terang KSBSI beserta 10 Federasi afiliasi pada Konferensi Pers, Senin (29/11/2021).

“Berlandaskan itu, KSBSI menyatakan, adalah kegagalan 5 hakim MK menegakkan hukum dan konstitusi sebagai panglima dengan menjatuhkan putusan terhadap permohonan pengujian formil dan materiil UU Ciker terhadap UUD 1945 yang diajukan KSBSI dalam perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020, dan 11 perkara atau permohonan lainnya pada Kamis, 25 November 2021, dengan amar putusan:

  1. ……..; (tidak disebutkan oleh KSBSI)
  2. ……..; (tidak disebutkan oleh KSBSI)
  3. Menyatakan pembentukan UU Ciker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  4. Menyatakan UU Ciker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Ciker menjadi inkonstitusional secara permanen;
  6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Ciker maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciker dinyatakan berlaku kembali;
  7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciker;
  8. ……; (tidak disebutkan oleh KSBSI)
  9. ……; (tidak disebutkan oleh KSBSI).

Amar putusan tersebut mendua, abu-abu, tidak jelas dan tidak tegas. Ini memperlihatkan dan menegaskan keraguan 5 hakim dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan adagium “fiat justitia ruat coelum”, hukum harus ditegakkan terlepas dari konsekuensinya, sebagaimana yang dilakukan hakim Pengadilan King’s Bench, Inggris, tahun 1772, membebaskan James Somerset dari kasus perbudakan buruh Inggris.” bunyi pernyataan KSBSI.

Namun terlepas dari itu, dengan adanya perintah dan pernyataan dalam pertimbangan hukum dan amar putusan tersebut sebagai berikut:

  1. Pernyataan UU Ciker mengandung cacat formil (konstitusi);
  2. Perintah kepada Presiden dan DPR supaya melakukan perbaikan proses pembentukan dan substansi (pasal-pasal/norma) UU Ciker;
  3. Pernyataan UU Ciker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan;
  4. Pernyataan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas;
  5. Pernyataan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciker;

“Maka berdasarkan hal-hal di atas, kami KSBSI dan 10 (sepuluh) federasi serikat buruh afiliasi serta 2 badan sayap KSBSI mengingatkan dan mendesak Presiden/Pemerintah termasuk Gubernur dan/atau DPR untuk:

  1. Melakukan perbaikan UU Ciker dengan transparan kepada publik termasuk KSBSI sebagai stakeholder klaster ketenagakerjaan;
  2. Melibatkan KSBSI dan stakeholder lainnya dalam seluruh proses perbaikan UU Ciker dengan keterpenuhan 3 syarat: pertama, didengarkan pendapat KSBSI, kedua, dipertimbangkan pendapat KSBSI; dan ketiga, KSBSI mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang berikan KSBSI;
  3. Perbaikan materi muatan (pasal-pasal/norma) UU Ciker harus lebih baik dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan;
  4. Penanggungjawab (leading sector) perbaikan materi muatan (pasal-pasal/norma) Klaster Ketenagakerjaan UU Ciker adalah Kementerian Ketenagakerjaan;
  5. Poses perbaikan UU Ciker Klaster Ketenagakerjaan dibawah pengawasan (supervisi) International Labour Organization (ILO) untuk memastikan pelaksanaan standar perburuhan, sebagaimana dahulu dalam proses pembentukan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan;
  6. Pemerintah jangan membuat kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas terhadap perlindungan dan kesejahteraan buruh berdasarkan UU Ciker dan peraturan turunannya;
  7. Pemerintah jangan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciker;
  8. Pemerintah, dalam hal ini para Gubernur jangan menerbitkan peraturan/keputusan untuk menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2022 berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, melainkan harus berdasakan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, sehingga terhindar dari gugatan di PTUN;
  9. Pemerintah, dalam hal ini Gubernur segera mencabut peraturan/penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 yang didasarkan pada PP No. 36/2021, serta menghitung dan menetapkan ulang UMP tahun 2022 berdasarkan PP No. 78/2015;
  10. Berdasarkan fatsun politik bernegara dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta untuk adanya kepastian hukum, meminta kepada Presiden untuk menerbitkan PERPPU menyatakan UU Cipta Kerja, setidaknya Bab IV Klaster Ketenagakerjaan UU Ciker, serta semua peraturan turunannya ditangguhkan pelaksanaannya sampai selesai perbaikan UU Ciker, dan menyatakan memberlakukan semua pasal-pasal yang dihapus dan diubah dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Demikian pernyataan berupa peringatan dan desakan ini kami sampaikan.” tandasnya.

Pernyataan sikap tegas ini ditandatangani langsung oleh, DEN KSBSI bersama 10 DPP Federasi afiliasi seperti FKUI, FSB NIKEUBA, FSB KAMIPARHO, F LOMENIK, FPE, F HUKATAN, FESDIKARI, FSB KIKES dan FSB GARTEKS ditambah dua Komisi KSBSI yakni Komisi Kesetaraan Nasional dan Komisi Pemuda dan Lingkungan.

5 Hakim MK

Diketahui, Nasib UU Cipta Kerja telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/11/2021) kemarin. Dari putusan itu, ada dua hakim MK yang menilai pasal PHK, outsourcing, hingga sistem pengupahan buruh harus dibatalkan. Yaitu Ketua MK Anwar Usman dan hakim MK Arief Hidayat.

Namun, Pendapat Hakim Anwar dan Arief soal uji materi UU Cipta Kerja kalah lawan suara mayoritas MK. Sebab, 5 hakim konstitusi lainnya menilai UU Cipta Kerja itu cacat formil sehingga tidak perlu lagi MK menguji materi UU Cipta Kerja.

Kelima hakim konstitusi itu adalah Aswanto, Wahidudin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Sedangkan Anwar, Arief, Daniel, dan Manahan Sitompul menilai UU Cipta Kerja itu tidak cacat formil. Sehingga pendapat Anwar-Arief soal hak-hak buruh kalah melawan suara mayoritas di majelis permusyawaratan hakim (MKH). [REDK-TODAY]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini