NUSANTARA
“Ratu Kalinyamat layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ia merupakan keturunan dari Raja Demak, Sultan Trenggana, dan diperistri Sultan Hadirin dari Jepara. Suaminya menjadi sultan pemimpin Jepara,”
Lapan6OnlineJaTeng | Jepara : Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mendukung pengajuan pahlawan asal Kabupaten Jepara, Ratu Kalinyamat, sebagai pahlawan nasional.
LaNyalla pun meminta pemerintah pusat menerbitkan persetujuan gelar pahlawan nasional untuk Ratu Kalinyamat.
“Ratu Kalinyamat layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ia merupakan keturunan dari Raja Demak, Sultan Trenggana, dan diperistri Sultan Hadirin dari Jepara. Suaminya menjadi sultan pemimpin Jepara,” kata LaNyalla saat kunjungan kerja di Semarang, pada Kamis (27/1/2022).
Petilasan Ratu Kalinyamat sendiri berada di Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo. Atau, sekitar 38 km dari Kota Jepara, Jawa Tengah. Petilasan Ratu Kalinyamat kini menjadi destinasi wisata religi.
“Pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Ratu Kalinyamat juga didukung sumber-sumber yang memperkuat peran beliau di masa lampau. Mudah-mudahan ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk memberikan gelar bagi Ratu Kalinyamat,” katanya
Pengajuan gelar pahlawan nasional Ratu Kalinyamat didukung dengan penelitian yang ditulis oleh sejarawan, yakni penulis Portugis Diego da Coute, Franscisco Pares, Afondo de Noronha, Faria a Sousa, dan Martins a El Ray.
Perempuan Perkasa Di Pusaran Konflik
Dibanding para “wali” perempuan lainnya, sosok Ratu Kalinyamat lebih dikenal oleh masyarakat Nusantara. Beberapa ahli sejarah sering menyebut Namanya, di antanya H.J. Dee Graff (1985, 1986), Slamet Muljana (2005), Purwadi (2007).
Bahkan seorang sejarawan asal Portugis, Diogo de Couto, dalam bukunya “Da Asia” menyebutnya sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica (Ratu Jepara, seorang perempuan kaya dan sangat berkuasa). Ada juga yang menyebutnya sebagai De Kraine Dame (seorang perempuan pemberani).
Dia memiliki peran besar dalam sejarah Demak, terutama saat terjadi konflik internal pasca Sultan Trenggana. Penggalan sejarah Ratu Kalinyamat tercantum dalam Babad Tanah Jawa dan selebihnya hanya ada dalam cerita tutur yang berkembang di kalangan masayrakat Jawa dari generasi ke generasi.
Dalam Babat Tanah Jawa disebutkan, Ratu Kalinyamat merupakan putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, sultan Demak pertama. Bernama asli Ratna Kencana. Ia mendapatkan nama Ratu Kalinyamat karena dia menjadi pejabat di Kalinyamat, suatu kadipaten di bawah kekuasaan Demak yang ada di daerah Jepara.
Penobatan Ratu Kalinyamat menjadi pemimpin di Jepara ditandai sengkalan “trus karya tataning bumi” yaitu sekitar tahun 1549 Masehi. Dia menikah dengan Pangeran Hadirin yang sering disebut Win-tang, Thoyib, atau Pangeran Kalinyamat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Pangeran Hadirin berasal dari Aceh.
Bahkan disebutkan bahwa perkawinan Kalinyamat dengan Pangeran Hadirin merupakan upaya menyatukan Aceh dan Jawa dalam menghadapi Portugis. Ada juga yang menyebut Pangeran Hadirin berasal dari Cina.
Karir politik Kalinyamat mulai mencuat sejak suaminya meninggal dibunuh Hario Penangsang, saudara sepupu, karena konflik internal di kesultanan Demak. Konflik dimulai dari pertikaian antara Sunan Prawoto, adik Ratu Kalinyamat, dengan Hario Penangsang akibat dendam masa lalu karena pembunuhan Pangeran Sedo Lepen (ayah Hario Penangsang) yang dilakukan oleh Sunan Prawoto.
Selain itu Hario Penangsang juga cemburu atas pengangkatan Sunan Prawoto sebagai Sultan menggantikan Sultan Trenggono. Hario penangsang juga membunuh pangeran Hadirin, suami Kalinyamat, karena dianggap berpihak pada Sunan Prawoto.
Sepeninggal suaminya, eskalasi konflik internal kesultanan Demak menjadi semakin meningkat. Dalam pusaran arus konflik ini, Kalinyamat menjadi figur sentral yang dipercaya untuk menyelesaikan demi mencegah terjadinya disintegrasi Demak. Selain karena kecakapan yang dimiliki, juga karena dia memiliki posisi kuat dalam pemerintahan yaitu sebagai pewaris kerajaan.
Dia juga memiliki sikap tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Dengan modal inilah Ratu Kalinyamat menggunakan wewenang politiknya untuk mengatasi konflik di Demak. Menurut penelitian Anas Sofiana (2017) Ratu Kalinyamat berhasil menjalankan tugas mengatasi konflik Kerajaan Demak.
Saat menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat menerapkan sistem commenda dalam perdagangan jalur laut. Melalui sistem ini Kalinyamat berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara pesat. Kemajuan ekonomi ini membuat Jepara memiliki armada laut yang kuat sehingga perdagangan, pelayaran serta interaksi banyak dilakukan di Pelabuhan Jepara karena terjamin kemanannya.
Sumber Portugis menyebutkan bahwa Jepara saat itu sudah menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16. Bahkan ia mampu menampung kapal besar bermuatan 200 ton lebih. Semain berhasil memajukan ekonomi, Kalinyamat juga berhasil membangun armada angkatan laut yang kokoh untuk mempertahankan Jepara.
Untuk meningkatkan perekonomian Ratu Kalinyamat juga bekerja sama dengan wilayah lain seperti Johor, Aceh, dan Hitu. Selain alasan ekonomi kerjasama ini juga dilakukan untuk memperkuat pertahanan dalam menyerang Portugis yang saat itu telah menguasai Malaka.
Ratu Kalinyamat mengirimkan 4000 tentara dan 40 buah kapal untuk menangkal serangan Portugis di Malaka (Anas Sofiana, Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol 5 Nomer 3 Oktober 2017). Kegigihannya Kalinyamat dalam melawan Portugis adalah untuk melindungi kepentingan perdagangan suku-suku bangsa dari berbagai daerah di Nusantara.
Keberhasilan Ratu Kalinyamat membangun angkatan perang dan memajukan ekonomi membuatnya menjadi sosok yang mempunyai pengaruh kuat di bidang politik dan militer.
Selain melalui jalur ekonomi dan militer, upaya memperkuat kekuatan Nusantara juga dilakukan dengan membangun jaringan kultural. Hal ini dilakukan Ratu Kalinyamat dengan cara mengasuh anak dari adiknya, Pangeran Timur yang nantinya menjadi adipati di Madiun. Selain itu sejarah Banten juga mencatat bahwa Kalinyamat mengasuh Pangeran Arya, putera dari Maulana Hasanuddin, Raja Banten tahun 1500-an yang akhirnya menjadi pengganti Ratu Kalinyamat memerintah Jepara. Ia juga memiliki putri angkat bernama Dewi Wuryan, putri Sultan Cirebon. Selain alasan kultural, pengangkatan ini dilakukan karena Ratu Kalinyamat tidak memiliki anak.
Sepeninggal suaminya, Kalinyamat tidak menikah lagi. Dia menyibukkan diri dalam urusan politik kenegaraan dan keagamaan. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan Kalinyamat melakukan riyadloh dan olah batin yang kuat melalui laku “topo wudo sinjang rikmo” di bukit Donorojo.
Banyak orang yang salah paham dengan istilah ini karena memaknainya secara tekstual, yaitu bertapa dengan telanjang bulat dan menutup kemaluannya dengan rambutnya yang Panjang. Akibatnya banyak yang menjadikan makam dan pertapaan Ratu Kalinyamat sebagai tempat mencari berkah para PSK agar “dagangnnya” laris.
Padahal, istilah tersebut sebenarnya hanya sanepo (simbolik). Dalam filosofi Jawa, “tapa wuda sinjang rikmo” dapat diartikan bahwa Ratu Kalinyamat berjihad secara habis-habisan, baik menggunakan seluruh harta dan kekuatannya untuk menyelesaikan konflik, membangun Jepara serta melawan penjajah Portugis, mulai dengan usaha lahir/fisik hingga olah batin yang berpasrah diri kepada Tuhan.
Menurut budayawan Jepara sekaligus penulis buku sejarah Ratu Kalinyamat, Hadi Priyanto, maksud kalimat “topo wudo sinjang rikmo” tidak bisa dimaknai secara tekstual, karena hal itu sangat tidak mungkin dilakukan oleh seorang ratu yang dikenal salehah,dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Ia mengatakan, yang dilakukan Ratu Kalinyamat bukan dengan bertelanjang.
Melainkan meninggalkan semua atribut singgasananya sebagai ratu untuk berbaur dengan masyarakat desa setempat. Dengan kata lain Ratu Kalinyamat melepas seluruh kepentingan duniawi dan atribut sosial yang dimiliki untuk berjuang demi kemaslahatan umat.
Sampai sekarang tempat pertapaan Ratu Kalinyamat yang kerap disebut Jambul Uwanen sering diadakan upacara sedekah bumi oleh warga Kecamatan Keling. Setiap malam Jumat Wage dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai daerah. Para peziarah kebanyakan kaum hawa yang ingin cantik alami, seperti Ratu Kalinyamat. Mereka rela mandi di sungai kecil yang ada di dekat petilasan dan dibarengi dengan semedi selama 40 hari. Tapi banyak juga pezirah yang berburu berkah agar bisa meneladami laku hidup Ratu Kalinyamat, menjadi pemimpin sukses. (*BBS/MUL)
*Sumber : fin.unusia.ac.id/detikindonesia