OPINI | POLITIK
“Disisi lain rencana pembangunan yang sudah dimulai terlebih dahulu sebelum sahnya Undang-Undang sebelumnya juga memicu pertanyaan publik. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk akibat pandemi, apa yang membuat pemerintah begitu tergesa-gesa hingga terkesan kejar tayang dalam membangun ibu kota baru ini,”
>> Sebuah Titik Kritis Pemindahan Ibu Kota
Oleh : Dinda Fadilah
TAHUN 2022 ini menjadi tahun yang krusial bagi proyek ibu kota negara yang akan berpindah ke Penajem Pasar Utara, Kalimantan Timur. Nama ibu kota baru tersebut pun telah diumumkan pada 17 Januari lalu oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa.
Nusantara terpilih dan berhasil menggugurkan lebih dari 80 nama yang diajukan kepada Presiden Jokowi. Pemilihan nama Nusantara disebabkan karena nusantara sudah dikenal sejak dulu, ikonik, dan menggambarkan kenusantaraan Republik Indonesia.
Pembangunan ibu kota negara mengundang kontra koalisi masyarakat yang terdiri atas Wahana Lingkungan Kalimantan Timur atau WALHI Kaltim, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Samarinda, Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim, dan kelompok lainnya.
Sekelompok organisasi tersebut meminta pemerintah untuk mencabut UU IKN karena dinilai cacat prosedur dalam penyusunan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan minim akan partisipasi publik. (tempo.co, 25/1/2022). WALHI menilai proses pembahasan UU IKN super cepat di parlemen dan lebih cenderung dipaksakan serta telah mengabaikan syarat formil yang seharusnya melibatkan partisipasi dari semua unsur masyarakat.
Direktur WALHI Kaltim juga memaparkan setidaknya terdapat tiga permsalahan terkait IKN ini. Permasalahan pertama terkait pemindahan ribuan ASN yang dikhawatirkan mendesak populasi penduduk sekitar. Kedua mengenai peluang pemutihan tanggung jawab korporasi atas konsesi tambang, perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang berada di wilayah ibu kota negara baru, yang telah memberi dampak kerusakan lingkungan. Ketiga adalah ancaman terhadap daya dukung lingkungan yang meliputi tata kelola air, perubahan iklim, flora dan fauna, serta polusi.
Disisi lain rencana pembangunan yang sudah dimulai terlebih dahulu sebelum sahnya Undang-Undang sebelumnya juga memicu pertanyaan publik. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk akibat pandemi, apa yang membuat pemerintah begitu tergesa-gesa hingga terkesan kejar tayang dalam membangun ibu kota baru ini ?
Terdapat banyak alasan mengapa perpindahan dan pembangunan IKN ini patut dipertanyakan, diantaranya utang negara yang kian menumpuk. Per akhir Oktober 2021 Indonesia memiliki utang sebesar Rp 6.687,28 triliun yang setara dengan 36,69% PDB (cnbcindonesia.com, 10/12/2021). Kondisi utang yang mengkhawatirkan menjadikan pindah IKN bukanlah pilihan yang logis dan bijak.
Ditambah lagi situasi RI yang kini sedang mengalami gelombang ketiga virus corona dengan merebaknya varian omicron dan terjadi lonjakan kasus dalam sepekan terakhir.
Mantan Ketua Ikatan ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar mengkritik proyek ini pada 30 Januari 2022. Beliau menilai masih banyak PR yang harus diselesaikan dalam tahap awal proyek ini, dari sisi sains, ilmu pengetahuan dan keteknikan belum terselesaikan. Pemerintah jangan sampai tergesa-gesa. Proyek IKN belum tepat dibangun untuk saat ini mengingat belum adanya kajian mengenai daya dukung fisik dan geologi IKN (tempo.co, 30 Januari 2022).
Ditengah kontradiksi yang timbul dan ngototnya pemerintah, maka kita dapat menduga IKN merupakan proyek ambisius pemerintah. Proyek ini tentu saja menelan biaya yang sangat besar. Berdasarkan perhitungan yang telah disampaikan Presiden Jokowi pada 2019 lalu, pemindahan ibu kota membutuhkan dana Rp 466 triliun dengan janji tidak akan menggunakan dana APBN.
Namun kini janji itu telah berubah dan jumlah dana yang diperlukan kian membesar. Dalam laman ikn.go.id bahkan sempat tertulis porsi APBN sebesar 53,5 persen untuk pembangunan ibu kota baru. Pemerintah mengatakan akan ada empat jenis skema pembiayaan yang berasal dari APBN, BUMN, KPBU, dan swasta.
Besarnya anggaran tak menjadi halangan pemerintah dalam mewujudkan mega proyek ini. Kontra dan kritikan publik juga hanya dipandang sebagai hal biasa. Dilansir dari tempo.co pada 25 Januari 2022, Suharso menganggap pro dan kontra adalah hal yang umum dan biasa terjadi. Pengesahan UU yang cenderung kejar tayang, pembangunan yang sudah mulai berjalan bahkan sebelum UU disahkan menunjukkan ambisiusitas dari pemerintah. Proyek terus berlanjut walau badai menghadang sekalipun.
Dalam Islam, pembangunan akan memprioritaskan visi pelayanan umat. Negara berfokus melakukan pembanguan untuk memenuhi kebutuhan rakyat serta memudahkan rakyat dalam mendapatkan akses untuk menikmatinya seperti sistem layanan kesehatan, infrastruktur pendidikan, perbaikan saran publik dan lain sebagainya. Pembangunan yang dilakukan juga tidak boleh dengan skema investasi asing atau utang luar negeri yang justru akan semakin membebankan rakyat.
Pemindahan ibu kota baru juga memerlukan perencanaan yang matang dan semestinya dilakukan secara optimal dengan tidak mengabaikan kota lama yang ditinggalkan. Di masa peradaban Islam juga pernah terjadi perpindahan ibu kota sebanyak empat kali. Pertama, dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga ke Kairo yang disebabkan oleh hancurnya Baghdad oleh invasi Mongol. Terakhir dari Kairo ke Istanbul. Tentu sja perpindahan tersebut tidak terjadi dalam satu masa periode. Semua perpindahan ibu kota pada masa itu juga memiliki alasan politik yang utamanya adalah demi kepentingan rakyat.
Pengaturan tata kota memiliki perencanaan rinci mengenai pembangunan fasilitas publik seperti masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Warga memiliki akses yang tak jauh untuk mendapatkan fasilitas layak. Negara juga dengan tegas mengatur mengenai sistem kepemilikan. Begitulah prinsip pemindahan dan pembangunan ibu kota pada sistem pemerintahan yang berdasar Islam. Seluruh aspek dipertimbangkan semata-mata untuk memenuhi kemaslahatan masyarakat dan bukan hanya mengejar ambisi terdepan di mata dunia.
Bagi rakyat yang masih merindukan kesejahteraan, yang terpenting adalah pelaksanaan pemerintahannya, bukan sekadar pemindahan ibu kota. Rakyat butuh pemerintahan yang dapat melayani urusan rakyat dengan baik dan mampu memenuhi kebutuhan serta menjamin kesejahteraannya. Wallahu’alam. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Sumatera Utara