Terkait Pemilu, Yusril Ihza Mahendra : Jika Pemilu Ditunda, Maka Presiden Ilegal dan Rakyat Berhak Membangkang

0
11
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra/Foto :Net

POLITIK | NUSANTARA | KABAR PEMILU

“Jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya,”

Lapan6Online | Jakarta : Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR dan DPD, lalu membentuk MPR.

“Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” ujar pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan, pada Minggu (27/2/2022) lalu.

Ketentuan-ketentuan tersebut, sambungnya, berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya.

Penegasan ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra menyusul adanya sejumlah pejabat negara dan petinggi partai politik yang mulai terang mengusulkan penundaan Pemilu 2024.

Yusril pun bertanya-tanya, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya.

Sebab sejauh amatannya, tidak ada dasar hukum sama sekali yang mengatur itu. Jika dipaksa diundur, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”.

“Jika para penyelenggara negara itu semuanya ilegal, maka tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka. Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal,” tegasnya.

Dalam kondisi demikian, maka penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat tinggal Panglima TNI dan Kapolri. Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR.

“Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal,” lanjutnya. (*rmol/bbs)

*Sumber : rmol.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini