OPINI | EKONOMI | POLITIK
“Akibat penguasaan dari hulu hingga hilir, penguasa bisa leluasa mengatur harga minyak goreng. Di sisi lain kebijakan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) juga bermasalah,”
Oleh : Dinda Fadilah
KELANGKAAN minyak goreng masih dialami oleh rakyat Indonesia hingga kini. Antrean ibu-ibu untuk mendapatkan minyak goreng masih banyak terjadi dimana-mana.
Sebuah kondisi yang sungguh ironi bagi negeri yang merupakan produsen sawit terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tercatat sebesar 14,457 juta hektar pada tahun 2019, dengan produktivitas penghasilan minyak sawit (CPO) sebesar 44,8 juta ton pada tahun 2020. Langkanya minyak goreng menjadi pertanyaan besar. Bagaimana mungkin dengan lahan sawit seluas itu namun rakyat sulit mendapatkan minyak goreng?
Sebelum terjadi kelangkaan hingga hari ini, sebelumnya minyak goreng mengalami kenaikan harga yang telah terjadi sejak November 2021. Harga minyak goreng kemasan mencapai harga Rp 24.000 per liter. Setelahnya ditetapkan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation). Namun permasalahan minyak goreng masih terus terjadi.
Berdasarkan pernyataan Mendag Muhammad Luthfi pada 9 Maret lalu terdapat dua kemungkinan penyebab mengapa minyak goreng langka di pasaran.
Pertama, karena kebocoran untuk industri yang kemudian dijual dengan harga tidak sesuai patokan pemerintah. Kedua, ada penyelundupan dari sejumlah oknum. Di lain kesempatan Kemendag juga mengatakan panik buying masyarakat menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng seperti dilansir cnnindonesia.com (11/3/2022). Statemen ini dinilai menyakiti masyarakat dan memicu kontroversi publik.
Kelangkaan minyak goreng tidak hanya menyebabkan masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya namun juga telah ‘memakan korban’.
Dilansir detik.com (12/3/2022), emak-emak yang sedang mengantre untuk mendapatkan minyak goreng terjatuh secara tiba-tiba dan mengalami kejang-kejang lalu meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Terkait dengan isu penimbunan minyak goreng nyatanya memang terjadi. Namun pelakunya tentu saja bukan masyarakat biasa yang melakukan panic buying.
Kisruh harga minyak goreng yang tinggi dan diikuti kelangkaan yang terjadi menunjukkan adanya permasalahan pada tata kelola komoditas ini oleh pemerintah. Melalui Kemendag, diakui oleh pemerintah bahwa terdapat kesalahan kebijakan yang menyebabkan harga minyak melonjak dan mengalami kelangkaan.
Selain tata kelola yang masih bermasalah juga terdapat faktor lain berupa distribusi minyak goreng yang hingga kini masih dikuasai oleh segelintir konglomerat pengusaha.
Pangsa pasar minyak goreng sebesar 40 persen di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat. Mereka adalah Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Martua Sitorus, dan Bachtiar Karim (tempo.co, 28/1/2022).
Akibat penguasaan dari hulu hingga hilir, penguasa bisa leluasa mengatur harga minyak goreng. Di sisi lain kebijakan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) juga bermasalah. Penetapan HET justru menjadi celah pengusaha untuk melempar stok minyak ke sektor lain yang lebih menjanjikan.
Dilansir cnnindonesia.com (11/3/2022), Direktur PT. Sumi Asih Alexius Darmadi dalam webinar Majalah Sawit Indonesia menyatakan, sistem DMO, DPO dan HET ini akan membuat adanya black market. Ini pasti dan semua orang tahu ada pedagang dadakan.
“Bahwa ini ada gap, saya heran kok yang dikeluarkan pengusaha sawit kok gak ada di pasaran. Ini sudah pasti ada black market.”
Terlebih harga yang ditetapkan membuat pedagang limbung sebab harga minyak goreng di pasaran tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan.
Tata kelola minyak goreng yang mengalami keruwetan disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan.
Pengusaha menentukan kebijakan negara demi keuntungannya. Mereka mampu melakukan hal tersbut karena adanya penguasaan ekonomi melalui prakktik monopoli dan oligopoli. Hal tersebut berakibat pada tingginya harga minyak goreng diikuti dengan langkanya minyak goreng di pasaran.
Praktik permainan harga oleh kartel dengan menjual barang diluar harga pasar sehingga harga mampu dikendalikan juga merupakan praktik yang terlarang di dalam Islam. Harga pasar wajib diadakan sehingga pedagang tidak mengendalikan harga dan menimbulkan kerugian bagi rakyat sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, yaitu pangan.
Selain aspek distribusi, pemerintahan dalam islam juga akan mengatur aspek hulu, yaitu perkebunan kelapa sawit. Sehingga monopoli dan oligopoli tidak terjadi dengan adanya pengaturan penguasaan lahan, prioritas produksi untuk dalam negeri dan tidak memberlakukan kebijakan yang dapat merugikan rakyat.
Hal semacam ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Islam melarang keras praktik penimbunan. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR. Muslim).
Pengaturan ekonomi juga disesuaikan dengan syariat Islam. Negara menjadi pihak independen sehingga tidak didikte pihak manapun termasuk pengusaha, sehingga penyelesaian dapat dilakukan secara efektif. Wallahu’alam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Mahasiswi Teknologi Pangan Universitas Sumatera Utara