OPINI | POLITIK
“Sangat berbeda dengan para pemimpin di sistem kapitalis yang berlomba menjadi penguasa, karena haus akan kegemilangan dunia. Bahkan hal itu membuat mereka buta mata dan hatinya untuk melihat fakta, atau minimal ikut merasa apa yang rakyatnya rasa,”
Oleh : Dinar Khair
HARGA minyak goreng melambung, menjadi efek domino bagi harga-harga lain. Dampak ini tentu saja dirasakan langsung oleh rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Belum hilang dari ingatan, bagaimana rakyat kesulitan mencari minyak dengan harga Rp. 14.000/liter. Di mana-mana stok kosong, bahkan bila ada pun, mereka harus menandai kelingkingnya dengan tinta agar membeli cukup dengan batasan jumlah tertentu saja. Sudah seperti pemilu, ucap mereka yang merasakan langsung. Bahkan ada yang memberlakukan syarat melampirkan foto copy Kartu Keluarga dan kartu vaksin. Hal ini, menjadi ironi yang terasa lucu bagi masyarakat yang merasakan langsung.
Lalu publik dikejutkan dengan harga minyak yang mendadak melambung. HET (Harga Eceran Tertinggi) yang diumumkan pada 16 Maret 2022 dicabut, kemudian bak sulap, stok minyak kembali berlimpah begitu saja. Semula rak-rak yang terdapat di toko-toko itu kosong melompong, lalu dalam waktu sehari kembali penuh entah dari mana asalnya. Rakyat pun kembali tertawa di tengah getirnya tangis hidup susah di negeri yang kaya akan keberlimpahan SDA-nya,termasuk minyak.
Ucapan Tak Sepantasnya
Hati rakyat tentu masih terluka akan fakta penimbunan minyak yang terjadi di mana-mana. Para mafia itu dengan mudahnya mempermainkan rakyat Indonesia, bahkan hingga rakyat meregang nyawa saat mengantre untuk mendapatkan minyak. Kini, luka itu kembali basah saat mendengar pernyataan mantan Presiden RI ke-5 yang menyatakan bahwa ia kaget saat mengetahui rakyat Indonesia begitu membutuhkan minyak.
“Saya sampai mengelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng, saya sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya?” kata Megawati dalam webinar bertajuk Cegah Stunting untuk Generasi Emas yang disiarkan Youtube Tribunnews, Jumat (18/3/2022).
Padahal, menurut Mega, selain digoreng, ada banyak cara untuk membuat makanan. Bisa dengan direbus, dibakar, atau dikukus.
“Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia, lho. Lha kok njelimet (rumit) gitu,” tuturnya seperti dikutip tribunnews.
Ucapannya tentu saja menyakitkan. Bagi mereka yang menggerakkan roda kehidupan sehari-hari dengan usaha seadanya, termasuk bergantung pada minyak, hal ini sangat mengagetkan. Apalagi diucapkan oleh salah satu pemangku kekuasaan negeri. Alih-alih merasa bertanggung jawab, mereka terus saja menyalahkan rakyat atas ketidak-becusan mereka dalam meriayah (mengurus) rakyat.
Sudah sepatutnya penguasa menjaga lisannya dalam berucap. Di dalam Islam, penguasa adalah periayah rakyat, orang yang mengurusi dan bertanggung jawab dalam mengurusi hajat hidup masyarakat. Amanah ini sungguhlah berat. Bukan iming-iming materi, jabatan, ataupun kemuliaan yang menjadi motivasi, melainkan ketakwaan yang mendorong para penguasa untuk mengurusi dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab hingga ke akhirat.
Sebagaimana Umar bin Khattab yang tidak makan layak selama paceklik belum berakhir, ini sebagai bukti tanggung jawab pemimpin pada rakyatnya. Bahkan para khulafaurrasyidin tidak ada yang hidup bermewah-mewah, padahal mereka adalah pemimpin negara yang sangat dihormati.
Sangat berbeda dengan para pemimpin di sistem kapitalis yang berlomba menjadi penguasa, karena haus akan kegemilangan dunia. Bahkan hal itu membuat mereka buta mata dan hatinya untuk melihat fakta, atau minimal ikut merasa apa yang rakyatnya rasa.
Hal ini merupakan produk dari sistem kapitalisme yang menghasilkan manusia dengan pola pikir demikian. Dalam sistem ini, sudah lumrah mematikan hati juga empati yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin.
Orientasi materi dan manfaat yang mengotori pemikiran manusia menjadikan para pemimpin ini lupa akan fitrah dan tanggung jawabnya sebagai periayah.
Maka sudah sepatutnya kita semua kembali pada aturan Allah subhanahu wata’ala dan eninggalkan sistem yang rusak ini dengan kalamullah, perintah dan larangan yang langsung Allah berikan pada hamba-Nya. Dengan begitu, Islam menjadi rahmat bagi seluruh makhluk di muka bumi. Wallahualam bishawab. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Novelis dan Aktivis Muslimah