OPINI
“Hati ini rasanya hancur, lutut lemas, kepala pusing seketika, lalu aku melihat anakku dengan senyuman yang memperlihatkan beberapa giginya yang imut dan membuat anakku semakin manis dan lucu,”
Oleh : Dessy Fatmawati, S.E.,
PAGI-pagi berangkat jalan kaki untuk belanja sayur mayur bersama anak pertamaku yang berusia dua tahun. Tingkahnya selalu menggemaskan di sepanjang jalan menunjuk mobil-mobil, melihat jejak kaki di tanah atau pasir, meloncat saat melewati polisi tidur sambil mengoceh “bil” ketika ia melihat mobil, “uppo (up and down)” ketika ia melewati polisi tidur.
Hati ini senang sekali karena Allah menitipkan anak lemah, kecil, imut, dan mengemaskan. Memang terkadang sebagai seorang ibu ada saat tingkah mereka membuat kita harus lebih bersabar.
Sesampai di tukang sayur, ibu-ibu ramai berbincang tentang seorang ibu di Brebes yang tega menggorok 3 anaknya, satu anaknya meninggal dengan sayatan di leher sedalam 5cm dan dua anak lainnya dilarikan ke RS dengan sayatan di leher dan dada.
Mendengar berita tersebut hati ini rasanya hancur, lutut lemas, kepala pusing seketika, lalu aku melihat anakku dengan senyuman yang memperlihatkan beberapa giginya yang imut dan membuat anakku semakin manis dan lucu.
Aku berpikir kok tega ya ibu itu. Sedih hati ini membayangkannya.
Menurut berita, kelakuan keji ibu tersebut disebabkan alasan ekonomi dan kesulitan hidup. Dia mengaku selama ini kurang kasih sayang dan sudah tidak sanggup lagi hidup dengan ekonomi yang pas-pasan.
Apalagi, suaminya sering menganggur. “Saya ini enggak gila. Pengin disayang sama suami, suami saya sering nganggur,” katanya. Menurut Ahli Psikologi Forensik, Reza Indra Giri Amriel mengimbau kepada pihak kepolisian untuk memeriksa lebih lanjut kejiwaan pelaku.
Miris tentunya. Berita-berita seperti ini sudah sering kita dengar sebenarnya, tetapi belum ada solusi yang tepat menyelesaikannya termasuk solusi memperbaiki kejiwaan pelaku. Sebenarnya itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tidak fokus terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan individu masyarakatnya. Padahal dalam Islam pemerintah berkewajiban menjaga masyarakat dan menjadi perisai masyarakat.
Perisai bagi masyarakatnya, Islam mencegah terjadinya hal-hal keji seperti kasus ini, yaitu dengan memberikan pendidikan sejak dini tentang iman dan takwa pada setiap individu.
Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa membunuh dan bunuh diri merupakan dosa besar. Negara juga mengajarkan mereka bahwa seorang Muslim harus sabar, tawakal, dan ikhlas menerima ketetapan Allah. Saat baligh mereka akan paham betul fungsi laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai pengatur rumah tangga.
Menjaga masyarakat, Islam menjaga kestabilan ekonomi setiap individu dengan membuka lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan keahlian kepada laki-laki. Selain itu, sektor umum seperti rumah sakit dan sekolah difasilitasi gratis oleh negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam.
Namun, apabila orang tersebut sama sekali tidak bisa bekerja untuk memenuhi hidupnya, ia akan mendapatkan bantuan dari negara yang berasal dari baitul mal.
Dengan pondasi keimanan serta adanya penjagaan dari negara, tentunya kondisi seperti ini tidak akan terjadi. Berbeda sekali dengan saat ini, solusi diberikan ketika sudah terjadi masalah yang tentunya tidak akan berhasil menghentikan masalah lanjutan karena solusi itu berasal dari manusia makhluk yang memiliki keterbatasan.
Beda dengan solusi Islam yang berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT yang Maha Mengetahui dan memahami betul ciptaan-Nya. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah