Kekeliruan Cara Pandang Gender Mainstreaming

0
43
Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Begitu pula dengan meningkatnya kasus anak yang putus sekolah bahkan mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diusia mereka yang belum layak untuk bekerja,”

Oleh : Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd

PEMKO Medan melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (P3APM) Kota Medan telah menggelar kegiatan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan pengarusutamaan gender kewenangan kab/kota melalui kegiatan evaluasi pengarusutamaan gender Kota Medan Tahun 2022.

Seperti dikutip tribunmedan.com (28/3/2022), melalui kegiatan ini diharapkan dapat mendorong efektifitas dan optimalisasi pengarusutamaan gender secara terpadu dan terkoordinasi. Kegiatan yang di hadiri sebanyak 95 peserta yang berasal dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kecamatan dan lembaga ini dibuka oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution diwakili Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (P3APM) Kota Medan, Edliaty di Hotel Saka.

Program pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang diarusderaskan Pemko Medan, untuk menyelesaikan masalah anak dan perempuan diibaratkan seperti menegakkan benang basah. Sebab pada faktanya, angka kekerasan anak dan perempuan tidak pernah menurun, justru mengalami peningkatan. Begitu pula dengan meningkatnya kasus anak yang putus sekolah bahkan mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diusia mereka yang belum layak untuk bekerja.

Kemudian meningkatnya kasus perceraian tetap menjadi permasalahan di dunia ini yang berakibat pada terhalangnya tumbuh kembang anak secara baik. Oleh karena itu, mengapa semua permasalahan ini bisa terjadi? Tentu karna negara ini menerapkan sistem kapitalisme-sekuler, yaitu sistem yang memisahkan Islam dari kehidupan dan negara.

Memang sistem kapitalisme-sekuler bercita-cita menciptakan keluarga sejahtera. Namun sayangnya cita-cita ini direalisasikan dengan mengeluarkan para ibu dari rumah mereka atau dengan kata lain memberdayakan mereka dengan pekerjaan. Bahkan sistem ini mengaruskan gagasan gender equality yang berbasis kebebasan dan hak asasi manusia menjadi jalan pemberdayaan perempuan dunia termasuk para muslimah.

Jargon ‘Kebebasan, Mandiri, Berdaya secara Ekonomi’ telah menjadi identitas baru muslimah saat ini untuk mencapai kesejahteraan, perlindungan, dan jaminan peran publik. Ketika perempuan didorong untuk mandiri, tidak membutuhkan siapa pun bahkan suaminya sekalipun, ternyata ini melawan fitrahnya.

Sebab perempuan memiliki fitrah untuk ingin dilindungi, ingin dijaga, ingin bergantung kepada laki laki. Apakah gender equality dan kebebasan perempuan membawa kebahagiaan? Sama sekali tidak. Gender equality bukanlah cara untuk menghilangkan penindasan atas perempuan atau menegakkan kehormatan bagi perempuan.

Ide ini tidak menyelesaikan masalah perempuan. Ketika perempuan mandiri, justru lebih rentan dari sisi perlindungan. Lihatlah betapa banyak perempuan bekerja, terlebih mereka yang pergi ke luar negeri tanpa disertai suami atau mahramnya. Banyak di antara mereka yang diperkosa, dianiaya dan tak sedikit yang akhirnya meregang nyawa, dan pulang hanya tinggal nama. Begitu pula dengan fitrahnya perempuan sebagai ibu, istri, dan pengatur rumah tangga juga akan hilang dengan adanya pengarusutamaan gender ini.

Islam yang diturunkan Allah Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui hakikat makhluk-Nya, telah menempatkan perempuan pada posisi yang mulia. Bila para muslimah memahami, sungguh menarik bahwa dalam konsep Islam, pahala surga bagi perempuan “lebih mudah” untuk diraih daripada kaum laki-laki.

Dengan perannya sebagai ibu, dia wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Dan ketika sebagai pengatur rumah suaminya, dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangganya agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin rumah tangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang.

Maka dari perannya sebagai ummun wa rabbat al-bayt tersebut kemuliaan pun dapat diraih. Begitu pula dengan penerapan syariat Islam secara sempurna akan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, termasuk untuk para perempuan. Dan sejak Rasulullah saw. membawa Islam, para perempuan dimuliakan dengan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Rasulullah saw. sebagai Kepala Negara Islam (Daulah Islam) memastikan penerapan Islam kaffah. Para muslimah pun terlindungi dan bisa menjalankan perannya secara optimal.

Mengenai konsep pemberdayaan perempuan juga tidak diperlukan dalam Islam karena Islam memuliakan perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu, istri, dan ratu dalam rumahnya. Islam melindungi perempuan dengan aturan yang menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan. Kemudian negara dalam Islam wajib menjaga keamanan seluruh rakyatnya, baik laki-laki-perempuan, kaya atau miskin, anak-anak ataupun dewasa, muslim atau nonmuslim, semua tanpa ada perbedaan. Sebab, negara melalui pemimpinnya (Khalifah) bertanggung jawab mengatur segala urusan rakyatnya.

Oleh sebab itu, perempuan—bahkan siapa pun—akan terlindungi oleh syariat Islam dan tercegah dari segala bentuk kekerasan. Siapa pun yang melaksanakan aturan-aturan Allah Swt. dan Rasul-Nya, akan mendapatkan ketenteraman dan ketenangan, karena aturan Allah dan Rasul-Nya memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia, serta tidak akan pernah berubah sampai akhir zaman.

Hanya saja, aturan atau hukum Islam tidak dapat tegak sempurna kecuali jika tiga pilar tegaknya hukum Islam diterapkan, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan adanya suatu sistem terpadu yang dilaksanakan negara—Khilafah Islamiyah—sebagai pelaksana dari aturan Allah dan Rasul-Nya. (*)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini