PERISTIWA | NUSANTARA
“Jadi maksud saya tidak seperti orang-orang yang pakai tutup kaya orang timur tengah kan banyak pasir, angin, panas gitu ya. Ya, seperti gaya anak-anak muda seperti dulu. Dan saya tidak ada menyebutkan, menilai perempuan menggunakan kerudung saya akan nilai jelek,”
Lapan6Online | Jakarta : Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menilai tindakan pemerintah terhadap Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko sudah baik. Tetapi sanksi itu dianggapya belum cukup untuk menghentikan laju rasisme yang belakangan terus meningkat.
Lewat cuitan di akun Twitter, Cholil Nafis menyarankan pemerintah mengambil tindakan yang lebih tegas dengan memberhentikan Budi Santosa dari jabatannya sebagai rektor ITK .
”Terima kasih @kemenpendidikan tlh Memecatnya sbg reviewer LPDP, tapi lebih memberi aspek jera dan antisipasi kaum rasis di Indonesia baiknya sekalian diberhentikan dari jabatan rektor @universitastik. Jangan beri lewat orang yg rasis, apalg kaum terdidik,” tulis Choil Nafis, pada Kamis (05/05/2022).
Pernyataan ini disampaikan Cholil Nafis menanggapi pernyataan Kemendikbudristek soal evaluasi dan rencana untuk mencopot Budi Santosa dari posisi sebagai reviewer program LPDP. Budi dianggap melanggar kode etik dan pakta integritas sebagai reviewer LPDP. ITK sendiri adalah perguruan tinggi negeri milik pemerintah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebagai rektor, Budi Santosa dalam tulisannya menunjukkan sikap anti terhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam seperti insya Allah, barakallah, dan qadarullah.
Berikut tulisan lengkap Budi Santosa yang dituding rasis :
“Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa.
Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi ; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit : inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi”.
Rektor ITK : Saya Menilai tak Berdasarkan Dia Berkerudung atau Tidak
Sementara itu, tulisan status di media sosial yang diunggah Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Pofesor Budi Santoso Purwokartiko yang menyinggung soal penutup kepala (hijab) ala manusia gurun viral dan menuai polemik.
Rektor ITK Prof Budi Santoso Purwokartiko membenarkan tulisan status yang viral di ragam media sosial itu memang dibuatnya sendiri.
Dalam kesempatan ini, Budi mengutarakan bahwa pernyataan di dalam tulisan statusnya itu bagian dari opininya pribadi dan bukan mengatasnamakan dirinya sebagai Rektor ITK di Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Tulisan itu opini pribadi saya ya, tidak sebagai rektor. Kalau kampus, humas saya juga sudah sampaikan bahwa ini urusan pribadi saya. Jadi bukan ITK. Jadi kalau misalkan ada (yang minta) klarifikasi saya minta untuk menghubungi saya,” ucap Prof Budi seperti dikutip dari jpnn.com saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, pada Sabtu (30/04/2022).
Selanjutnya Budi menyampaikan maksud dari tulisan statusnya itu tidak bermaksud untuk mendiskriminasi kepada seorang perempuan menggunakan hijab ataupun menyinggung soal kalimat dalam ajaran agama Islam.
“Dalam tulisan, saya tidak ada menaruh kata kalau yang menggunakan kerudung, akan saya nilai jelek. Nggak ada loh. Saya hanya bercerita kebetulan dari 12 (mahasiswi) itu ternyata tidak ada yang pakai kerudung,” ungkapnya.
Budi menjelaskan, pilihan diksi di dalam tulisan statusnya itu berawal ketika dirinya sedang menjadi bagian dari tim seleksi mahasiswa beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Saya saat itu saya sedang mewawancarai calon peserta student mobility. Menurut saya ini cukup surprise, ternyata dari 14 mahasiswa yang saya wawancarai, terdiri dari dua cowok dan 12 cewek, kebetulan kok tidak ada yang berkerudung semua. Kok seperti mahasiswa jaman dulu ya. Makanya saya nulis itu,” jelasnya.
Menurutnya, keduabelas mahasiswa tersebut juga memiliki nilai IP yang cukup tinggi. Budi menilai, seluruhnya juga memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik.
Saya senang sekali karena mereka ini ternyata pinter-pinter. IP mereka itu 3,9 dan 3,8. Bahasa Inggrisnya bagus. Orang tua pasti kagum lah. Dan mereka itu sangat open minded. Kemudian kami bicara mencari informasi tempat-tempat tujuan,” jelasnya.
Budi menyayangkan banyak pihak yang salah paham dengan maksud dari isi tulisannya itu. Hal tersebut terjadi dikarenakan ada oknum yang menurutnya sengaja menggarisbawahi perihal sebutan penutup kepala dan manusia gurun.
Padahal saya menilai tidak berdasarkan dia pakai kerudung atau tidak. Nggak ada. Karena poin-poin yang dinilai bukan itu. Bahkan soal pertanyaan mengenai agama saja enggak ada. Jadi gak ada itu diskriminasi,” jelasnya.
“Jadi maksud saya tidak seperti orang-orang yang pakai tutup kaya orang timur tengah kan banyak pasir, angin, panas gitu ya. Ya, seperti gaya anak-anak muda seperti dulu. Dan saya tidak ada menyebutkan, menilai perempuan menggunakan kerudung saya akan nilai jelek,” tambahnya.
Kendati demikian, Prof Budi sadar bahwa tulisan statusnya itu kekinian dipermasalahkan lantaran dianggap mendiskriminasi perempuan berhijab serta bermuatan SARA.
“Ya itu konsekuensi dari bahasa tulisan saya. Mungkin persepsinya akan berbeda-beda, ya. Saya menyayangkan karena banyak yang men-screenshot, kemudian dikasih pengantar seakan-akan saya tidak adil, diskriminatif. Itu yang menurut saya, saya sayangkan. Dan orang tidak membaca tulisan aslinya,” ucapnya.
Prof Budi kembali menegaskan kalau dirinya tidak pernah menilai mahasiswa perempuan yang menggunakan hijab ataupun tidak.
“Karena poin-poin yang dinilai bukan dari itu. Bahkan pertanyaan mengenai agama aja enggak ada. Kami hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan, programnya apa, nanti kalau pulang kontribusi buat masyarakat apa, buat perguruan tingginya apa, buat bangsanya apa,” ucapnya.
Ditambahkan Budi bahwa dirinya juga sudah melakukan klarifikasi ke pihak kampus perihal permasalahan yang saat ini tengah mencuat ke publik. Dia berharap agar permasalahan tulisan statusnya itu tidak sampai melibatkan dan menyeret nama besar ITK Balikpapan.
Ada yang mempermasalahkan dan ingin sampai mengadakan press release resmi tetapi saya bilang enggak usah nanti nama ITK malah terbawa-bawa, tetapi kalau apakah mereka setuju atau tidak dengan saya, saya enggak tahu. Banyak kepala ya, banyak pendapat,” tutupnya. (*jpnn/Kop/Mas Te/Lpn6)