OPINI | POLITIK
“RUU KIA sangat penting untuk mengatur percepatan mewujudkan kesejahteraan keluarga, terutama kesejahteraan ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa dan kesejahteraan anak sebagai pewaris dan penerus kehidupan berbangsa dan bernegara,”
Oleh : Rahmi Jamilah
DPR RI tengah menggodok RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR.
Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan RUU KIA akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Kamis, 30 Juni 2022. RUU ini bakal disetujui sebagai usul inisiatif DPR.
Puan mengatakan, RUU KIA sangat penting untuk mengatur percepatan mewujudkan kesejahteraan keluarga, terutama kesejahteraan ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa dan kesejahteraan anak sebagai pewaris dan penerus kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Puan, seperti dikutip tribunenews.com, kesejahteraan keluarga menjadi jaminan dalam menciptakan manusia unggul dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045. Sementara itu masalah stunting (kekerdilan) dan angka kematian ibu melahirkan masih tinggi di Indonesia. RUU KIA diharapkan bisa mengatasi persoalan tersebut.
Dalam RUU KIA cuti melahirkan adalah enam bulan, masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan.
RUU KIA juga mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh dan mulai bulan ke-4 upah dibayarkan 70 persen. Juga suami mendapatkan hak cuti pendampingan melahirkan selama 40 hari.
Selama ini aturan cuti melahirkan hanya 3 bulan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyebut bahwa fakta di lapangan menunjukkan 90 persen buruh perempuan hanya diberikan cuti hamil/melahirkan 1,5 bulan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir, sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan, termasuk di antaranya pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan.
Tentu kabar gembira bagi pekerja perempuan di Indonesia yang jumlahnya lima puluh persen lebih dibandingkan jumlah pekerja laki-laki.
Namun disisi lain, Wakil Ketua Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, mengatakan : “Jika ini terjadi akan sangat menurunkan produktivitas, selama enam bulan kami kosong dong perusahaan. Harus terima lagi karyawan baru, nanti dididik lagi tiga bulan training, mana bisa produktif karyawan baru, lalu setelah enam bulan diberhentikan lagi, apa bagus turnover gitu? Baru masuk, keluar lagi, cuti lagi, kan gimana ya?” ujarnya.
Hal senada diungkapkan DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta juga meminta pemerintah dan DPR mengkaji kembali penetapan undang-undang (UU) terkait hak cuti melahirkan 6 bulan dan cuti suami 40 hari untuk pekerja.
Selain itu sebagaimana dilansir kompas.com, dia juga meminta agar sinkronisasi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan RUU KIA ini dilakukan dengan cermat agar tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang membingungkan pengusaha.
Kebijakan yang penuh dilema dan kontradiktif akan terus diproduksi pemangku kebijakan dalam iklim kehidupan sekuler kapitalis saat ini.
Dilema pusaran perempuan yang harus terjun ke sektor industri sebagai tenaga kerja tidak lepas dari sistem kapitalisme yang melingkupi kita saat ini.
Sistem kapitalismelah yang membuat kemiskinan terstruktur sehingga mengharuskan perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kapitalisme juga yang melahirkan ide feminisme kesetaraan gender yang selalu mengkampanyekan perempuan harus berdaya di sektor ekonomi.
Pada fitrahnya perempuan diciptakan untuk melahirkan, mengasuh, serta mendidik generasi. Sehingga keberadaan perempuan bekerja dalam iklim kapitalisme membuatnya sulit untuk bisa menjalankan fitrah dan fungsi utamanya.
Pun pengusaha dalam iklim kapitalisme hanya berorientasi pada semata keuntungan materi tidak akan sejalan dengan kebijakan yang mendukung perempuan pada fitrahnya.
Terlebih kebijakan-kebijakan yang diproduksi disaat-saat pencapresan belakangan ini, perlu dicurigai sebagai kebijakan yang sekedar pencitraan demi menuai simpatik massa dan meraup suara.
Perempuan membutuhkan lebih dari sekedar undang-undang yang mengatur waktu cuti melahirkan dan menyusui namun yang dibutuhkan perempuan adalah sistem yang adil yang sesuai fitrahnya.
Maka dalam ketentuan Islam perempuan tidak berkewajiban menanggung beban ekonomi keluarga. Laki-laki lah yang diberi kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sistem politik ekonomi Islam yang diterapkan utuh oleh negara yang akan menciptakan kemudahan bagi laki laki untuk memperoleh pekerjaan dengan menyediakan seluas-luasnya lapangan pekerjaan.
Juga negara akan menjamin kesejahteraan dalam bidang kesehatan, pendidikan, keamanan serta subsidi kebutuhan pokok agar masyarakat tidak terbebani dengan harga yang cukup tinggi seperti saat ini. Sehingga dengan jaminan seperti ini perempuan akan dengan mudah dan maksimal menjalankan tugas dan fungsi utamanya sesuai fitrahnya.
Oleh karena itu tidak ada solusi selama kita terus dalam dekapan sistem kapitalisme yang berasas sekulerisme yang menihilkan aturan Sang Pencipta Semesta Alam.
Hanya dalam naungan sistem Islam kafah yang diaktualisasikan secara utuh oleh negaralah yang akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang adil serta melindungi perempuan dan generasi. Wallahu’alam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Ibu Rumah Tangga