OPINI | HUKUM | POLITIK
“Budaya belajar juga bergeser menjadi budaya materialistis. Karater pembelajar yang terbangun adalah sekuler, hedonis, materialis, individualis, dan pragmatis. Tidak heran bila kita jumpai ada orang yang pendidikannya tinggi namun berakhlak minimalis,”
Oleh : Anisa Alfadilah,
REKTOR Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum kena OTT KPK, Karomani mengikuti acara pembentukan karakter (character building). (detiknews, 20/08/2022).
Berdasarkan situs Unila, Karomani beserta para wakil rektor mengikuti character building di Hotel Sari Ater, Lembang, Bandung, Jawa Barat (Jabar), pada Rabu-Sabtu (17-20/8). Acara itu diikuti tim Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) Unila.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian seorang rektor yang tertangkap oeh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan. (Kompas.com, 21/8/2022).
Penyakit korupsi telah mendarah daging menggerogoti setiap instansi dalam negeri. Mulai dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi, semua tak lepas dari peran oknum yang terlibat korupsi. Atas ulah mereka negara berulang kali merugi. Uang rakyat masuk ke kantong pribadi. Rekening gendut kerap terjadi, menimpa para petinggi yang dulu berjanji berjuang untuk rakyat bukan untuk kepentingan pribadi.
Menurut UU No. 20 Tahun 2001, dari sudut pandang hukum tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sangat disayangkan korupsi bahkan dilakukan oleh seorang rektor yang menaungi lembaga pendidikan tertinggi, yang didalamnya juga diajarkan pendidikan anti korupsi.
Seorang rektor adalah seorang pemimpin sekaligus pendidik para kaum intelektual seharusnya menjadi contoh seluruh civitas akademika dan para mahasiswa yang dibawah kepemimpinannya.
Dari kasus rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani patut kita sadari bahwa adanya ketidakseimbangan antara intelektualitas dan hati nurani. Rupanya inilah salah satu bentuk kerusakan peradaban bila melupakan adab sebelum ilmu.
Mengetahui dan memahami juga memiliki makna yang berbeda. Tentu saja rektor tersebut sudah mengetahui praktik suap-menyuap, penyelewengan dana atau penyalahgunaan wewenang adalah bentuk-bentuk tindakan korupsi yang dapat dikenai hukum pidana.
Namun, ia tetap melakukannya karena tidak memahami bahwa korupsi merupakan tindakan yang keliru. Dalam perspektifnya ia tetap memperoleh keuntungan. Kalaupun mendapat hukuman tentu tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Sebab, hukuman bagi koruptor di negeri ini tidak memberi efek jera, seperti mata pisau yang tumpul keatas dan tajam kebawah. Tak heran para koruptor setiap tahun bukannya berkurang justru wajah-wajah baru semakin bermunculan.
Mata kuliah pendidikan antikorupsi, seminar-seminar antikorupsi, dan penyuluhan dari KPK di lingkup perguruan tinggi seolah hanya sekadar formalitas.
Menurut data, para pelaku korupsi mayoritas adalah lulusan sarjana yang justru mengerti hukum. Inilah kelemahan hukum buatan manusia yang disusun sendiri, disahkan dan dijalankan oleh mereka lalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab untuk mencari celah hukum tersebut dan melakukan penyelewengan.
Pembentukan karakter antikorupsi gagal total di bawah payung sistem pendidikan sekuler. Hal tersebut juga dipengaruhi sistem yang diterapkan oleh negara yaitu sistem demokrasi kapitalis yang melahirkan output bermental kapitalistik pula.
Meskipun bergelar dan bertitel tinggi tidak menjamin seseorang mampu menghalau tindakan korupsi yang sistemis di negeri ini. Corak pendidikan saat ini menyesuaikan proses industrialisasi yang terarah sesuai kepentingan dagang atau politik.
Budaya belajar juga bergeser menjadi budaya materialistis. Karater pembelajar yang terbangun adalah sekuler, hedonis, materialis, individualis, dan pragmatis. Tidak heran bila kita jumpai ada orang yang pendidikannya tinggi namun berakhlak minimalis.
Hanya Islam yang mampu menjawab persoalan korupsi dan memberantas hingga keakar-akarnya. Sistem pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk pembelajar yang kepribadian Islam dan menguasai Iptek. Pendidikan Islam akan menghadirkan generasi yang keimanannya kokoh dan pemikiran Islamnya mendalam.
Sebab mereka senantiasa terikat dengan hukum Allah Swt. Alhasil tegaklah amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat dan negara.
Dalam sistem pemerintahan Islam negara memberi gaji dan tunjangan yang cukup kepada para pegawai pemerintahan, termasuk guru dan rektor. Gaji yang mereka peroleh cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Selain itu, biaya hidup sangat murah karena politik ekonomi negara berorientasi terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat.
Kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan digratiskan. Bila masih dijumpai praktik korupsi disanksi tegas dengan mempublikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah upaya Islam mencegah tindakan korupsi sebagaimana panduan syariat yang bersumber atas al-Qur’an dan sunah.Wallahu a’lam bishawab. [GF/RIN]
*Penulis Adalah Pegiat Literasi