OPINI | POLITIK
“Sementara bagi partai politik dan elit politiknya, maka ajang pemilu adalah ajang untuk melanggengkan kursi kekuasaan mereka. Tidak mengherankan apabila mereka akan menghalalkan segala cara demi kemenangan partai masing-masing,”
Oleh : Vinda Puri Orcianda
RAKYAT kini tengah menangis darah dengan segala himpitan hidup yang terus menguji kesabaran dalam hidup sehari-hari mereka, rakyat dihadapkan dengan realita meroketnya harga sembako mulai dari minyak, telur, cabai dan bawang, kini dihadapkan lagi dengan BBM yang mengalami kenaikan hingga 30%.
Namun para politisi yang biasanya memiliki peran sebagai orang yang mewakili rakyat di kancah perpolitikan bangsa ini seolah diam tak bersuara. Rakyat menggelar demo pun tak menggoyahkan dan mengalihkan perhatian mereka.
Pesta rakyat yang biasa digelar 5 tahun sekali dan sudah sempat terhalang oleh badai pandemi, sudah tercium bau nya walau acara itu akan digelar pada tahun 2024 mendatang.
Panggung wayang dagelan para calon seolah sudah mulai mencari-cari perhatian rakyat dengan memoles diri menjadi sosok kepribadian yang semanis mungkin. Segala rangkaian pencapaian baik diri maupun partai mulai akan di obral sana sini.
Para petinggi negara bahkan ketua dari wakil rakyat malah tengah disibukkan dalam agenda mematut diri mencari pasangan kontestasi. Berusaha mencari simpati dengan memasang gambaran diri sebagai negarawan sejati.
Seperti yang dikutip Kompas.com, bahwa Sinyal untuk bisa bekerja sama dalam pemilihan presiden 2024 secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat menerima kunjungan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani pada Minggu (4/9/2022) kemarin.
Prabowo menyatakan, komitmen untuk terus membangun komunikasi dengan PDI-P tak lain untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dia juga menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan sesi awal memasuki musim politik jelang Pemilu 2024 .
Ini juga terjadi dengan tokoh-tokoh politik lain dari berbagai partai politik, sebut saja Ganjar Pranowo yang juga sudah mulai melirik kesana-kemari, dan juga pentolan partai Demokrat yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang semakin lincah juga menjalin komunikasi antar partai saat ini.
Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah salah satu agenda masyarakat turut campur dalam kancah perpolitikan dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara bagi partai politik dan elit politiknya, maka ajang pemilu adalah ajang untuk melanggengkan kursi kekuasaan mereka. Tidak mengherankan apabila mereka akan menghalalkan segala cara demi kemenangan partai masing-masing.
Ajang pesta rakyat ini juga menyedot biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya. Bahkan menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai usulan anggaran pemilu 2024 yang merupakan gabungan dari pilpres dan pilkada sebesar 86 triliun terlalu besar.
Tito membandingkan kenaikan anggaran pemilu, yang hanya menggabungkan pilpres dan pileg tanpa pilkada, dua periode terakhir. Menurutnya, anggaran pemilu 2014 saat itu berada di kisaran Rp16,186 triliun. Kemudian, angka itu naik sekitar Rp11 triliun menjadi Rp27,49 triliun pada pemilu 2019. Sementara, kenaikan dari pemilu 2019 ke 2024 hampir empat kali lipat.
Menurut Tito, lonjakan anggaran tersebut perlu menjadi perhatian serius. Apalagi saat ini pemerintah butuh biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan ekonomi dampak pandemi Covid-19.(cnnindonesia.com, 16/09/21).
Anggaran pemilu sebesar itu sangatlah kontras dengan jeritan rakyat yang menanggung beban hidup akibat dari badai covid-19 dan kebijakan pemerintah serta tata kelola pemerintah yang semakin mencekik leher rakyat. Ekonomi masyarakat jelas meroket turun tanpa bisa dibendung.
Dalam sistem kapitalis ini pemerintah hanya mementingkan keberlangsungan eksistensi dari tahta yang telah dicapainya dengan berdalih kepentingan rakyat. Tapi rakyat terus bertambah susah dari hari ke harinya. Buah dari demokrasi hanya akan melahirkan politisi pengabdi kursi, bukan pelayan rakyat yang bisa merasakan bagaimana penderitaan dan tangisan rakyat.
Hal ini berbeda dengan kebijakan-kebijakan dalam sistem Islam yang lebih menitik beratkan kepada kepentingan rakyat.
Sistem Islam melahirkan sosok pemimpin yang bertanggung jawab penuh, menampung keluhan dan penderitaan rakyatnya. Sebagaimana khalifah Umar Bin Khattab yang memanggul sendiri gandum yang ingin diberikan kepada rakyat miskin, karena tanpa sengaja terlewat dalam penyaluran dana baitul mal.
Sang Khalifah Umar rela memanggul gandum dan tergopoh-gopoh berjalan sendiri pada malam itu dengan berurai air mata ketakutan terhadap tuntutan Allah kelak, sang pemimpin tidak serta merta menaiki unta nya dan melempar-lemparkan bantuannya kepada rakyat miskin pada masa itu.
Khalifah Umar Bin Khattab bahkan tidak mengizinkan pengawalnya membantu mengangkat gandum yang ingin diberikan kepada sebuah keluarga miskin tersebut. Khalifah Umar sangat takut ketika nanti Allah akan meminta segala pertanggung jawaban kepadanya kelak selama beliau memimpin.
Sebegitu takutnya sang pemimpin dengan amanah kepemimpinannya kepada umat, sampai beliau berwasiat kepada Abdullah bin Umar, “anakku Abdullah sekali-kali jangan, sekali-kali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini”.
Itu semua bisa terjadi ketika idrak sillah billah atau kesadaran bahwa ketika melakukan sesuatu semata karena melaksanakan perintah Allah SWT dan semua apa yang kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT kelak.
Semua ini hanya bisa ada di dalam sistem Islam, bukan di dalam sistem kapitalis seperti saat ini. Di mana pemerintah berperan sebagai periayah umat atau masyarakat, bukan hanya berperan sebagai regulator bagi masyarakatnya.Wallahu ‘alam bishawab. [*GF/RIN]