OPINI | HUKUM | POLITIK
“Pemberian remisi bagi para koruptor semakin menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) melainkan kejahatan yang lumrah pada umumnya,”
Oleh : Irohima
HADIAH kebebasan yang diperoleh para koruptor menjadi sorotan dan menimbulkan sejuta pertanyaan, apakah keadilan memang telah benar-benar ditegakkan? Atau beginilah aslinya wajah peradilan ?
Berbagai keputusan kontroversial kerap dikeluarkan, vonis tak terduga dijatuhkan, hingga potongan hukuman bui yang begitu fantastis, membuat kita semakin apatis.
Masa hukuman para napi koruptor menjadi lebih singkat karena mendapatkan remisi hingga akhirnya bebas bersyarat.
Remisi adalah pengurangan masa tahanan yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada napi korupsi bila napi koruptor memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dalam pasal 10 Permenkumham No.7 Tahun 2022 memuat aturan remisi koruptor menyebutkan: “ Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan remisi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.”
Remisi koruptor inilah yang kemudian menjadi sorotan masyarakat karena dianggap tak memenuhi rasa keadilan dan tak masuk akal.
ICW atau Indonesia Corruption Watch bahkan menyebut bahwa pemberian remisi bagi para koruptor semakin menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) melainkan kejahatan yang lumrah pada umumnya.
Dunia peradilan kita pun menjadi lebih suram tatkala kita dihadapkan pada fakta bahwa eks napi korupsi ternyata masih bisa menjadi calon legistatif di DPR dan DPRD pada pemilu 2024 mendatang.
Lebih mengejutkan lagi saat kita melihat survei dari Transparency International Indonesia pada 15 Juni – 24 Juli 2020 yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia menempatkan anggota legistatif sebagai lembaga terkorup. Apakah ini sebuah kebetulan ?
Tapi begitulah sistem demokrasi liberal yang menjadi panutan bangsa bangsa dunia. Sistem demokrasi telah banyak memberikan celah untuk bertindak korupsi. Sistem ini juga memberikan konsekuensi logis, jika urusan ingin lancar maka lakukan berdasar asas keuangan.
Sistem demokrasi liberal yang katanya memberikan hak yang sama pada semua orang dalam ranah kehidupan, nyatanya sangat jauh api dari panggang.
Perebutan lahan pekerjan misalnya, kerap menimbulkan persaingan keras yang memicu seseorang ataupun kelompok melakukan cara apapun untuk mendapatkannya, dan kondisi para pencari kerja yang begitu ingin membutuhkan pekerjaan akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi para oknum, dan dari sinilah mulai muncul praktik suap menyuap yang pada akhirnya berkembang pada aksi korupsi.
Begitu pun dengan aktivitas meraih kursi kekuasaan ataupun yang memiliki berbagai kepentingan. Banyaknya orang yang berhasrat menjadi penguasa dan banyaknya orang yang ingin kepentingannya aman serta menginginkan birokrasi yang mulus adalah timing yang tak akan dilewatkan bagi para pencari keuntungan.
No free lunch , tak ada makan siang gratis, ada harga yang harus dibayar meski tak selalu berupa materi, harga itu bisa berupa janji dan juga kepentingan lain. Dan disini akan berlaku take and given atau juga simbiosis mutualisme yaitu hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya.
Manusia yang lahir dari sistem demokrasi liberal terbukti tak punya nurani, tak ada rasa sesal dalam jiwa mereka meski perbuatannya telah merugikan banyak orang.
Sanksi yang tidak tegas dalam demokrasi juga makin membuat para pelaku semakin santai dalam menghadapi ancaman bui. Mereka tak perlu khawatir karena mereka kerap dimanja dengan remisi.
Tindak pidana korupsi sebenarnya termasuk kategori extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa dikarenakan merugikan negara dan masyarakat banyak. Sepatutnya hukuman yang diberikan pada napi koruptor adalah hukuman yang setimpal.
Namun tidak demikian di alam demorasi liberal. Koruptor bisa menghirup udara bebas bersyarat, hanya dengan dalih sesuai dengan ketentuan tanpa pemberian penjelasan yang cukup ke publik.
Begitu pula dengan mantan koruptor, mereka tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik meski mereka mempunyai track record yang buruk, padahal track record seseorang haruslah diperhatikan dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat yang nantinya akan bertugas melayani dan mengurusi kepentingan umat.
Bukan tak memberi kesempatan manusia untuk bertobat, tapi kepentingan umat merupakan prioritas utama dan pertanggung jawabannya merupakan beban yang teramat berat kelak di akhirat. Seorang pemimpin atau wakil rakyat hendaklah seseorang yang bertaqwa, jujur, amanah, berkompeten, dan senantiasa memprioritaskan kepentingan umat diatas segalanya.
Dalam Islam, korupsi merupakan perbuatan keji dan kedudukannya sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan Jinayaat al-kubro atau dosa besar.
Kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan tak hanya pada manusia tapi juga kepada Allah SWT di akherat kelak. Sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang paripurna dalam semua permasalahan hidup termasuk korupsi.
Dalam menyikapi sebuah masalah, Islam juga memandangnya secara keseluruhan, dari fakta, akar masalah, penyebab, dan dampak yang ditimbulkan begitu detail, hingga solusi yang diterapkan tak hanya muncul ketika ada masalah, bersifat temporar dan malah berpotensi menimbulkan masalah lain, namun sebaliknya, solusi yang dihasilkan dari sistem Islam akan menuntaskan persoalan sekaligus bisa mencegah.
Sistem Islam menentukan pemilihan dan pengangkatan penguasa dan pejabat negara didasarkan pada ridha rakyat dan pilihan rakyat. Pemilihan mereka pun memiliki sifat berkualitas, amanah, praktis tidak berbiaya tinggi seperti pemilihan ala demokrasi yang teramat mahal.
Ini semua untuk menekan bahkan mencegah praktik suap, korupsi dan lain sebagainya. Negara dalam Islam akan melarang keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh secara tidak syar’i baik harta yang diperoleh dari harta milik negara ataupun milik masyarakat.
Meski begitu negara tetap mengawasi secara ketat dengan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan melakukan kecurangan atau tidak. Ketentuan mesti bertaqwa ditambah sifat zuhud selain profesionalitas sebagai syarat menjadi penguasa atau pejabat publik akan serta merta membuat para penguasa senantiasa terkontrol dari berbuat maksiat dan tercela.
Gaji yang layak juga diberikan pemerintah agar para penguasa dan pejabat publik akan tenang dan maksimal dalam memberikan loyalitas dan totalitas meriayah umat.
Sanksi tegas yang diberlakukan oleh pemerintah jika melanggar ketentuan. Sanksi bisa berupa publisitas, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman bagi bagi para koruptor untuk mencegah kasus yang serupa berulang.
Sungguh sangat memprihatinkan, di tengah kondisi negeri yang tengah rumit pasca pandemi, praktek korupsi makin menjadi. Tak ayal lagi kita butuh sistem yang mumpuni, yang dapat memberantas habis praktek korupsi yang seakan telah menjadi tradisi.
Islam adalah satu – satunya solusi hakiki, yang akan melepas kita dari derita akibat ulah manusia – manusia tak tahu diri, yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Wallahualam bishawab. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Guru