Krisis Moral dan Potret Buruk Sistem Sekuler Kapitalis

0
4
Septiyani/Foto : Istimewa

OPINI | POLITIK

“Padahal pemuda saat itu sedang sibuk mencari jati diri, namun karena paham sekulerisme membuat mereka bebas menjalani segala sesuatu tanpa memperhatikan halal haramnya dalam agama,”

Oleh : Septiyani,

IS (17) santri di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel ditangkap polisi karena menusuk ustaznya, Bambang Setiawan (29). Pelaku berbuat nekat karena tidak terima sering dimarahi.

Kasat Reskrim Polres OKU Timur, AKP Apromico seperti dikutip Sumsel.iNews (1/9/2022), mengatakan, kejadian penusukan yang dilakukan seorang santri kepada ustadznya tersebut terjadi saat korban sedang mengambil wudhu. Akibat aksinya, Bambang Setiawan harus menjalani 50 jahitan yang terdiri dari 30 jahitan di bahu dan 20 jahitan di tangan.

Pelaku IS seperti ditulis Tribunsumsel 1/9/2022), mengaku bahwa ia dendam lantaran beberapa kali ditegur oleh korban karena kesalahan yang ia perbuat. Di antaranya pelaku pernah ditegur oleh korban ketika ketahuan merokok di lingkungan Ponpes dan juga terlambat ketika sholat berjamaah.

Pelaku mengaku menusuk korban lantaran tidak mau orang tuanya dipanggil. IS menusuk korban menggunakan pisau yang sudah lama ia simpan. Dari pengakuan IS, sebelumnya pisau tersebut memang sengaja ia bawa untuk berjaga-jaga.

Jika kita amati, semua ini menunjukkan krisis moral di kalangan pemuda, hanya karena dimarahi saja tega membunuh orang. Hal ini tak lain karena sistem sekuler kapitalis yang memisah agama dari kehidupan telah membuat pemuda bermental tempe.

Pemuda tidak memiliki pegangan menjalani kehidupan. Padahal pemuda saat itu sedang sibuk mencari jati diri, namun karena paham sekulerisme membuat mereka bebas menjalani segala sesuatu tanpa memperhatikan halal haramnya dalam agama.

Ditambah paham ini telah merasuki bidang pendidikan di sekolah. Karena agama bukanlah pelajaran yang wajib adanya, hanya sebagai pelengkap saja. Anak murid tidak lagi hormat kepada guru, begitu juga sebaliknya guru tak lagi menghargai murid. Maka wajarlah bahwa semua itu bisa terjadi.

Sangat berbeda dengan corak pendidikan dalam islam. Islam memandang generasi muda adalah aset bangsa. Semua ini diwujudkan secara praktis di 3 tingkat institusi yang menerapkan pendidikan islam bagi anak yakni keluarga, masyarakat dan negara.

Dalam keluarga, islam telah memerintahkan para orang tua agar mendidik anak mereka dengan ketakwaan dan ketaatan. Anak-anak bisa diajarkan sejak dini untuk mengenali dirinya sebagai hamba Allah. Sehingga selama hidupnya mereka akan sadar bahwa mereka seorang mukallaf yang harus terikat sesuai hukum syariat.

Allah SWT berfirman : “peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka” (QS At-Tahrim ayat 6)

Keluarga juga diperintahkan mendidik anak-anaknya dengan lifeskill, kemandirian dan berdakwah. Semua kemampuan ini akan membantu anak-anak kelak bisa bertahan hidup dalam kondisi apapun. Menyelesaikan masalah pribadi ataupun masyarakat sesuai dengan tuntunan syariah.

Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda ” Ajarilah anak laki-lakimu berenang dan memanah. Ajari menggunakan alat pemintal bagi wanita”. (HR. Al-Baihaqi)

Dari sisi masyarakat, islam memerintahkan masyarakat hidup dalam kondisi saling berbuat kebaikan dengan amar makruf nahi mungkar.

Maka suasana yang terbentuk dalam masyarakat tak lain adalah suasana keimanan. Bukan suasana ingin menunjukan eksistensi dengan jalan yang salah seperti tawuran.

Adapun negara berperan sebagai penyedia pendidikan berbasis aqidah islam. Sehingga dari lembaga pendidikan terbentuk generasi yang memiliki kepribadian islam yaitu pola pikir dan pola sikap sesuai dengan ajaran islam.

Dari pendidikan model islam inilah, terbukti mampu menjadi peradaban yang melahirkan generasi hebat dan luar biasa. Pintar dalam ilmu agama dan juga dunia. Bahkan tradisi ini masih dipertahankan di beberapa negeri kaum muslim meski negara islam telah tiada. Seperti di madinah, Makkah, Mauratania, Hederabad dan beberapa wilayah lainnya. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Aktivis Kampus