Duh… Kenaikan Dana Parpol di Tengah Ancaman Resesi Ekonomi

0
4
Yuli Ummu Raihan/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Resesi ditandai dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua kuartal beruntun. Penyebabnya bisa dari guncangan ekonomi, inflasi (naiknya harga barang dan jasa, tingginya suku bunga),”

Oleh : Yuli Ummu Raihan

ANCAMAN resesi terjadi hampir di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun, kondisi yang memprihatinkan ini tidak membuat penguasa lebih selektif dan meminimalisir pengeluaran negara.

Di saat beban rakyat makin berat akibat kenaikan harga sejumlah komoditas, pemerintah memutuskan menghapus beberapa subsidi. Subsidi untuk rakyat dirasa membebani APBN.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru berencana menaikkan dana bantuan untuk parpol.

Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Resesi ekonomi bisa memicu penurunan keuntungan perusahaan, meningkatnya pengangguran, hingga kebangkrutan ekonomi.

Resesi ditandai dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua kuartal beruntun. Penyebabnya bisa dari guncangan ekonomi, inflasi (naiknya harga barang dan jasa, tingginya suku bunga), deflasi (turunnya harga barang dan jasa), gelembung aset pecah, perkembangan teknologi, dan lain-lain.

Resesi dapat kita ketahui dari ciri-cirinya yaitu, pertumbuhan ekonomi yang negatif, impor lebih besar dibanding ekspor, turunnya lapangan kerja, produksi dan konsumsi tidak seimbang.

Kapitalisme yang saat ini diterapkan telah nyata menimbulkan banyak kemudharatan. Salah satunya kehancuran di bidang ekonomi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa saat ini ada tiga ancaman global yang harus diperhitungkan.

Pertama mengenai pandemi covid-19 yang belum benar-benar berakhir. Banyak negara kini masih dihadapkan dengan penambahan kasus baru dan terjerat luka memar atau scaring effect pasca pandemi.

Kedua adalah ancaman perubahan iklim. Saat ini saja kita sudah bisa merasakan dampaknya. Ketiga perang Rusia dengan Ukraina. Sri Mulyani mengatakan, dalam acara UOB Economic Outlook “Geopolitik Tension”.

Dari negara-negara yang menguasai mayoritas ekonomi dunia, AS adalah negara yang paling terbesar disusul China dan Eropa region atau Rusia. Jadi tensi tinggi perang jelas jadi suatu ketidakpastian.

Semua persoalan ini tidak hanya berefek pada pasar keuangan, tapi juga kebutuhan masyarakat dari energi hingga pangan.

Presiden Jokowi seperti dikutip CNBC Indonesia (30/9/2022) juga mengatakan bahwa perekonomian tahun depan makin suram. Ancaman resesi ekonomi sudah di depan mata.

Bahkan survei oleh Reuters pada 28/09/2022 menyebutkan kemungkinan “penderitaan” yang lebih besar karena bank sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga 5%.

Tentu ini akan menyebabkan gejolak di pasar uang, ekspektasi inflasi tinggi berlangsung dalam waktu lama tidak terkendali (hiperinflasi), meningkatkan risiko stagflasi, dan kerusakan ekonomi yang makin parah. Imbasnya puluhan negara terancam ambruk.

Demokrasi Liberal Munculkan Nirempati
Usulan kenaikan dana bantuan untuk parpol dari Mendagri, Tito Karnavian hingga tiga kali lipat dari Rp1.000/ suara menjadi Rp3. 000/ suara tentu sangat menyakitkan hati rakyat.(Republika.com, 22/09/2022).

Dana bantuan parpol ini telah diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.

Negara lebih peduli pada parpol dibandingkan rakyatnya yang sudah sekarat karena efek berbagai kebijakan yang tidak populis. Paradoks ini membuktikan bahwa betapa bobroknya kapitalisme di bawah kendali demokrasi liberal. Sistem ini telah menutup hati nurani pemimpin terhadap nasib dan kondisi rakyatnya. Rakyat hanya menjadi objek untuk memuaskan ambisi penguasa. Rakyat hanya dirangkul dan diperhatikan jelang pemilu karena suara mereka.

Para penguasa dan calon penguasa mendatangi dan mengambil simpati rakyat dengan melakukan beragam pencitraan. Agar tampak merakyat, mereka blusukan dari satu tempat ke tempat lain, menawarkan janji-janji manis, bahkan mengubah penampilan agar lebih islami agar pemilih lebih dekat secara religious.

Namun, setelah mereka mendapatkan kekuasaan, rakyat ditinggalkan. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang.

Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya tinggal slogan. Realisasinya dari rakyat, oleh rakyat, untuk penguasa. Bahkan tidak sedikit kebijakan yang dibuat oleh penguasa pilihan rakyat ini menyakiti hati rakyat.

Mereka dipilih untuk mewakili dan mengurusi semua urusan rakyat. Nyatanya mereka mewakili, menikmati kemewahan dan beragam fasilitas yang tidak bisa dinikmati rakyat. Mereka mendapatkan gaji, tunjangan, yang jika ditotalkan jumlahnya sangat fantastis. Belum lagi beragam fasilitas kehidupan. Tapi semua itu tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka.

Bantuan dana untuk parpol ini tentu akan menambah beban APBN. Padahal untuk kegiatan politik saja negara sudah mengeluarkan begitu banyak dana.

Untuk pemilu 2024 saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan Rp76, 6 triliun yang dirancang akan cair bertahap. Angka ini secara keseluruhan meningkat 199,34% dibandingkan pemilu 2019 lalu yang menghabiskan dana sekitar Rp25, 59 trilliun.

Begitu juga untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang dianggarkan sekitar Rp.35 triliun, naik tiga kali lipat dari pemilu 2019. Hal ini berdasarkan pertimbangan mendalam agar pemilu serentak 2024 bisa berjalan dengan baik tanpa menimbulkan korban jiwa seperti pemilu 2019 lalu.

Sebagian kalangan merasa khawatir penyelenggaraan pemilu tidak akan bisa berjalan dengan optimal karena anggaran yang dibutuhkan KPU dan Bawaslu belum 100% cair. Maka usulan penambahan dana ini, tentu hanya akan menambah masalah.

Biaya Politik dalam Sistem Demokrasi Mahal
Bukan rahasia umum lagi biaya politik hari ini sangatlah mahal. Sebuah parpol membutuhkan dana untuk biaya operasional harian, konsolidasi, kampanye, dan lainnya.

Kajian KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan pada tahun 2018-2019 menyebutkan bahwa kebutuhan keuangan parpol dal satu tahun mencapai Rp16.992 per suara sah. Dana ini digunakan untuk mendukung kinerja parpol dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta kegiatan operasional sekretariat parpol.

Belum lagi dana untuk mendapatkan kursi kekuasaan yang nilainya sangat fantastis. Untuk menjadi anggota DPR pada 2019 misalnya rata-rata membutuhkan biaya hingga Rp5 miliar. Untuk menjadi kepala daerah tingkat II butuh Rp20 hingga Rp30 miliar.

Untuk menjadi gubernur atau wakil butuh dana sekitar Rp100 miliar. Bayangkan, berapa dana yang dibutuhkan agar bisa menduduki kursi orang nomor satu di negeri ini?

Untuk memenuhi semua kebutuhan dana tersebut maka diaturlah sumber-sumber keuangan parpol dalam UU Nomor 2 Tahun 2098 yang telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 bahwa sumber keuangan parpol harus bersumber dari tiga pos besar yaitu, iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD.

Meskipun sudah ada tiga sumber dana ini, realitasnya seringkali belum mampu mencukupi ongkos politik yang begitu tinggi. Hal ini membuka celah bagi parpol untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya seperti berbagai intrik politik hingga korupsi. Melakukan deal politik dengan para kapitalis adalah salah satunya.

Konsekuensinya aktivitas politik tidak ubahnya seperti ajang perjudian dan rebutan kepentingan bagi para kapitalis yang membutuhkan legitimasi kekuasaan. Para kapitalis tidak ragu menjadi sponsor bagi parpol bahkan ikut bermain dalam kancah perpolitikan.

Hal ini tentu akan menjauhkan fungsi dan peran parpol itu sendiri. Secara teori sebuah parpol memiliki fungsi sebagai sarana sosialisasi atau pendidikan politik, sarana rekruitmen kader politik untuk mengisi kursi kekuasaan, sarana partisipasi untuk menyalurkan aspirasi rakyat, sarana komunikasi politik dari rakyat kepada pemerintah dan sebaliknya, serta sarana pengatur konflik.

Namun semua fungsi parpol ini hanya tinggal catatan, karena faktanya parpol hari ini hanya sekadar alat meraih kekuasaan. Parpol hanya menjadi kendaraan politik bagi seseorang untuk bisa melaju meraih kursi kekuasaan. Parpol hari ini telah menjadi perpanjangan tangan berbagai kepentingan kopitalis. Bahkan tidak sedikit parpol yang justru menjadi sumber konflik di tengah rakyat, dengan membentuk polarisasi karena beda pilihan partai.

Parpol tidak lagi menjadi sarana penyaluran aspirasi rakyat. Tapi pemulus berbagai kepentingan kapitalis. Keberadaannya tidak memberi banyak manfaat untuk rakyat. Bahkan justru merugikan rakyat karna perilaku korupsi oleh anggota parpol.

Memang tidak semua parpol begitu, masih ada parpol yang memiliki idealisme. Namun, keberadaan mereka tidak mampu memberikan pengaruh apa pun apalagi bisa memperbaiki kondisi negeri ini.

Kebatilan dalam sistem kapitalisme telah tersistem secara sempurna. Sehingga idealisme harus tunduk pada pragmatisme.

Rakyat yang sebelum pemilu dirangkul dan diperhatikan hanya bisa gigit jari dan sakit hati. Karena mereka tidak lagi jadi prioritas bagi parpol. Kursi kekuasaan yang begitu empuk melenakan mereka dan lupa akan janji politiknya. Setelah mendapatkan kekuasaan mereka membuat kebijakan tanpa mempertimbangkan kondisi rakyat yang diwakilinya.

Rakyat Tidak Percaya Partai Politik
Hasil survei yang dilakukan terhadap 1.23p responden lewat wawancara tatap muka pada 24 Juni – 1 Juli 2922 oleh lembaga survei Indopol menunjukkan lebih dari sepertiga atau 35,93% responden tidak lagi percaya terhadap parpol. (CNNIndonesia.com, 22/07/2022)

Sebanyak 26,64 % menilai parpol tidak bisa menampung aspirasi rakyat. Sebanyak 11,76% menilai parpol telah kehilangan ideologi dan integritas. Parpol juga dinilai tidak ikut secara signifikan berkontribusi pada pembangunan negeri.

Mayoritas rakyat memilih parpol hanya karena ikut-ikutan. Terpikat figur anggota partai yang memiliki wajah rupawan, terkenal, bukan karena kinerjanya. Bahkan rakyat memilih parpol tanpa ada kesadaran politik dan tergiur dengan materi.

Tapi tidak semua rakyat seperti itu. Sudah banyak masyarakat yang melek politik dan mulai sadar kondisi sehingga tidak mudah tertipu wajah manis parpol. Semua karena parpol gagal memenuhi janji politiknya bahkan menyakiti hati rakyat dengan pola tingkah lalu serta kebijakan mereka.

Parpol dalam Pandangan Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam sebagai ideologi mengatur semua aspek kehidupan termasuk politik. Karena politik dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat.

Parpol dalam Islam bukanlah oposan atau ajang berburu jabatan. Parpol dalam Islam identik dengan upaya turut serta dalam penerapan syariat Islam. Keberadaannya untuk memonitor dan memastikan penerapan syariat Islam berjalan dengan baik, mencegah segala penyimpangan, memuhasabahi penguasa, dan amar makruf nahi mungkar.

Dasar keberadaan parpol dalam Islam adalah firman Allah Swt. dalam QS Ali Imran ayat 104 yang artinya :”Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. ”

Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum partai politik Islam adalah partai yang berdiri atas dasar akidah Islam, mengadopsi ide-ide, hukum, dan solusi yang Islami, serta metode perjuangannya mengikuti metode perjuangan Nabi Muhammad saw.

Sementara menurut Ziyat Ghazzal, partai politik Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan Islam.

Mendirikan parpol Islam hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya ketika sudah ada di tengah-tengah umat Islam sebuah partai yang menjalankan tugasnya, maka gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Namun, jika tidak ada satu pun partai Islam, maka seluruh umat Islam berdosa. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2019, hal:104).

Dalam Islam keberadaan partai Islam boleh lebih dari satu. Asalkan sesuai dengan ketentuan syariat diantaranya, keanggotaannya haruslah diisi oleh orang Islam. Tidak boleh sebuah partai Islam beranggotakan non-muslim. Asasnya adalah akidah Islam bukan yang lain. Fikrah (pemikiran) dan thoriqah (metode) yang diadopsi adalah Islam.

Misi partai Islam adalah semata untuk melakukan aktivitas politik Islam yaitu mengoreksi penguasa dan boleh memperoleh kekuasaan melalui umat. Semua visi misi partai haruslah Islami. Tidak boleh menyimpang sedikitpun apalagi menghalalkan segala cara.

Partai politik Islam juga tidak akan menggunakan cara-cara kotor seperti yang dilakukan parpol dalam sistem hari ini. Dalam meraih dukungan umat parpol Islam tidak perlu melakukan pencitraan, kampanye dengan menggelar acara-acara berbalut maksiat seperti konser musik, hiburan yang tidak bermanfaat dan melanggar hukum syara’.

Ikatan yang mengikat anggota parpol adalah ikatan mabda’i (ideologis), bukan ikatan kepentingan, nasionalisme, atau yang lainnya. Karena hanya ikatan inilah yang mampu mengikat para anggota agar bertahan dari segala hambatan dan rintangan. Dengan ikatan ini, insya Allah tidak akan ada anggota yang terjebak iming-iming dunia, atau takut dengan berbagai resiko, serta ancaman.

Parpol yang sahih akan terus bergerak, menjalankan visi dan misinya, beramar makruf, dan muhasabah kepada penguasa. Semua dilakukan atas dorongan ketakwaan, bukan dorongan kepentingan untuk memenangkan kontestasi politik.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka tentu parpol dalam sistem Islamlah yang kita butuhkan. Sedangkan parpol dalam sistem kapitalisme sekalipun menamakan dirinya parpol Islam, akan tetapi kenyataannya aktivitas partai tidak murni berdasarkan syariat Islam, bahkan tidak jarang melanggar syariat Islam.

Saat aturan Islam diterapkan dalam sebuah kehidupan bernegara, insya Allah kesejahteraan bisa dirasakan semua pihak secara merata. Tidak akan ada kesenjangan sosial yang sangat tajam, kepedulian antar masyarakat dan pemerintah akan terwujud. Kesejahteraan dan keberkahan akan senantiasa menaungi negeri ini, sebagaimana firman Allah Swt. dal QS. al-A’raf ayat 96 :

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesui dengan apa yang telah mereka lakukan.” Wallaha’lam bissawab. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Penggiat Literasi