OPINI | HUKUM
“Perselingkuhan juga dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Saat suami atau istri berselingkuh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anak-anak dan pasangan sahnya cenderung terabaikan,”
Oleh : Ihsaniah Fauzi Mardhatillah
PADA dasarnya tujuan pernikahan adalah proses menuju kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Semua orang tentunya mendambakan rumah tangga bahagia, tenang, dan penuh cinta. Sayangnya, terkadang keinginan tak sama dengan kenyataan. Hal yang terjadi justru malah sebaliknya. Betapa banyak rumah tangga yang dibangun dengan cinta yang awalnya baik-baik saja namun, berakhir dengan perceraian, KDRT, sering bertengkar, dan tak bahagia.
Seperti halnya kasus KDRT yang baru-baru ini dilakukan oleh Penyanyi Dangdut ternama, menambah kasus KDRT. KDRT adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, yang sebagaiannya dialami oleh perempuan. Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan terletak pada kekuasaan hubungan yang tak seimbang.
Berdasarkan data kementerian PPA, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan periode 1 Januari 2022-21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Sementara sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tak terkecuali yang berujung pada hilangnya nyawa.
Seharusnya ini menjadi pengingat berharga bagi kita semua betapa kekerasan pada rumah tangga bukanlah hal yang dapat disepelekan. Korban KDRT didominiasi perempuan walaupun kekerasan juga dialami laki-laki. Seperti halnya yang kita ketahui faktor eksternal seperti himpitan ekonomi, godaan laki-laki, perempuan lainnya, dan sejenisnya memicu konflik adanya KDRT.
Perselingkuhan juga dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Saat suami atau istri berselingkuh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anak-anak dan pasangan sahnya cenderung terabaikan. Perselingkuhan tidak hanya soal terancamnya keharmonisan keluarga tapi juga setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan pada perempuan baik fisik, seksual, atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu juga berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenangnya, baik depan umum atau dalam lingkup kehidupan pribadi, seperti halnya kondisi psikologis pasangan maupun psikologis anak menjadi korban pasangan perselingkuhan tersebut.
Memang, dalam sebuah hubungan pernikahan selalu ada kurang dan lebihnya di mata pasangan masing-masing baik suami maupun istri. Namun, Islam sudah memberikan aturan bagi keduanya. Bagi laki-laki harus memuliakan perempuan sekaligus larangan melakukan kekerasan kepadanya.
Islam benar-benar menjaga perempuan dan menjamin kehormatannya, penghargaan, dan kemuliaan terwujud dalam pengaturan hak dan kewajiban bagi perempuan sehingga, seorang laki-laki tidak dibiarkan mengklaim derajatnya lebih tinggi daripada perempuan, terkecuali takwa.
Adanya perbedaan peran dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani rumah tangga sebagai wujud harmonisasi dan sinergi laki-laki dan perempuan dalam memainkan peran masing-masing sesuai fitrah yang ditetapkan oleh Allah.
Aturan beserta potensi yang diberikan Allah kepada keduanya sudah tetap dan tak perlu dikacaukan oleh ide kesetaraan gender yang diagung-agungkan oleh kaum feminisme. Pasalnya, ketika dua orang telah menikah harus memiliki visi dan misi pernikahan, di antaranya kepercayaan dan pentingnya saling menghargai bahwa keharmonisan dalam rumah tangga harus ada peran dari kedua belah pihak.
Islam pun memerintahkan kepada suami untuk menghargai dan menghormati, mencintai dan menggauli istrinya dengan kasih sayang dan penuh kelembutan. Pun sebaliknya bagi istri harus mentaati suaminya karena ia pemimpin rumah tangga. Dengan begitu akan tercipta rumah tangga yang harmonis bervisi akhirat. Aamiin. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah