OPINI | POLITIK
“Jika pondasinya rapuh maka bangunan yang berdiri di atasnya tidak akan bertahan lama. Apalagi jika pondasinya rusak, bisa dipastikan bahwa bangunan di atasnya juga akan mengalami kerusakan,”
Oleh : Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T,
HIRUK pikuk pencalonan presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) menjelang Pemilu 2024 sudah mulai tampak. Partai NasDem menjatuhkan pilihan kepada Anies Baswedan sebagai capres. Selanjutnya cawapres masih belum final. Perbedaan pendapat dari partai koalisi terus terjadi. Akankah diperoleh formasi yang bisa membawa negeri ini menjadi negara berdaulat?
Seperti dilansir laman cnbcindonesia.com, Wakil Ketua Umum NasDem, Ahmad Ali memperkirakan cawapres dari nonparpol bisa menjaga interaksi koalisi parpol pengusung Anies. Lebih lanjut Ali menyebut tidak akan ada kontrak politik atau politik transaksional, karena ingin menghilangkan hal-hal demikian.
Berbeda pandangan dengan Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menyatakan bahwa Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah sosok berpadanan dengan Anies.
Jika dicermati peta perpolitikan dan pesta demokrasi di tanah air masih mempertontonkan demokrasi yang tidak bermoral. Banyak dari petugas TPS di seluruh wilayah Indonesia, menjadi korban dan meninggal akibat demokrasi secara tidak wajar. Wajar jika banyak pihak menduga kuat terjadi kecurangan yang luar biasa demi meraih suara terbanyak dalam pesta demokrasi tersebut.
Beberapa lembaga survey independen menyajikan data yang tidak sesuai dengan hasil akhir Pemilu. Hal ini menambah mosi tidak percaya rakyat akan elektabilitas para politikus di negeri ini.
Semestinya peristiwa tersebut menjadi pelajaran penting tentang bobroknya sistem demokrasi. Sistem perpolitikan yang diadopsi oleh negara negara di dunia dan telah terbukti merusak. Demokrasi membuat para pengusungnya berbuat semena-mena, sekendak para tuannya.
Asas yang Rusak
Sebuah sistem memiliki asas yang menjadi pondasi dasar dari sebuah ideologi. Darinya, terpancar apa yang harus diimplementasikan dalam kehidupan politik bernegara.
Oleh sebab itu sangat urgen memahami dengan benar setiap asas yang menopang sistem tersebut. Artinya, jika pondasinya rapuh maka bangunan yang berdiri di atasnya tidak akan bertahan lama. Apalagi jika pondasinya rusak, bisa dipastikan bahwa bangunan di atasnya juga akan mengalami kerusakan.
Beginilah kondisi negeri ini. Sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan bernegara berasaskan sekularisme yang menepis agama dari kehidupan. Agama tidak diberi space untuk mengatur ekonomi, pendidikan, dan yang lainnya. Agama hanya digunakan di sudut-sudut masjid, pernikahan, dan kematian. Agama tidak dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan dan keputusan dalam tata kelola negara.
Terkait pencalonan cawapres nonparpol yang diharapkan bisa netral, tidak semudah perkiraan. Analis politik hanya bisa memprediksi berbagai kemungkinan. Namun, belajar dari peristiwa yang telah lewat, banyak pihak sangat pesimis akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Kondisi ini disebabkan antara lain:
Pertama, politik dalam sistem demokrasi meniscayakan sistem transaksional. Tak dimungkiri pesta demokrasi berbayar mahal. Layaknya sebuah pesta, tentu saja butuh biaya besar.
Oleh karena itu perlu dukungan dari pengusaha atau para pemilik modal. Sangatlah wajar jika partai yang diusung terpilih, maka balas budi pun terjadi. Kongkalikong penguasa dan pengusaha pun tak dapat dielakkan.
Kedua, tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Jika sebelumnya oposisi, seiring berjalannya waktu, bisa berubah menjadi koalisi. Hal ini disebabkan dalam sistem demokrasi ada bagi-bagi “kue kekuasaan” sesama partai koalisi. Seakan tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan partai dan pemilik modal.
Ketiga, karakteristik dasar sebuah sistem adalah memaksa dan mengikat. Mengikuti arahan sang tuan, orang-orang atau lembaga yang telah berkontribusi besar untuk pemenangan. Artinya, siapapun yang menjadi cawapres, diusung oleh partai koalisi ataupun independen, peluangnya tetap sama yaitu mengikuti road map yang telah digariskan sistem itu sendiri. Sehingga celah menuju perubahan hakiki begitu sempit.
Politik Berbasis Kepentingan Rakyat
Islam adalah sebuah sistem paripurna yang telah terbukti mampu menjadi mercusuar peradaban. Kegemilangannya tertoreh dalam tinta emas, dalam semua aspek kehidupan. Rentang waktu yang tidak singkat yaitu 1300 tahun lamanya melingkupi dua per tiga belahan dunia. Sistem yang belum pernah ada tandingannya bahkan di zaman modern sekalipun.
Perbedaan secara diametral begitu jelas dengan sistem saat ini. Di mana kekuasaan dalam sistem Islam adalah sebuah amanah akbar yang pertanggung-jawabannya juga luar biasa. Bahkan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq sangat takut memikul beban sebagai seorang pemimpin sepeninggal Rasulullah SAW.
Pun, Khalifah Umar bin Khattab yang masyhur dan dekat dengan rakyatnya betapa takut jikalau berbuat zalim. Masih banyak lagi keutamaan para khalifah dalam memimpin, di mana kesemuanya dalam rangka meraih rida Allah ‘Azza wa Jalla.
Kisah para khalifah memimpin umat menjadi catatan sejarah betapa sistem Islam punya aturan komprehensif dan bersih dari unsur kepentingan. Menutup celah terjadinya kecurangan, karena asasnya adalah akidah Islam. Semua hal dilakukan karena dasar ketakwaan, sehingga ketika amanah sebagai pemimpin diberikan, akan dijalankan sesuai apa yang telah diperintahkan As Syari’ (Allah Swt.).
Takutlah akan hisab Allah kelak di hari akhir, hari ketika tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali amal salih.
Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam:
“Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya”. Wallahua’lam bis Showab. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Dosen dan Pemerhati Sosial