Belajar dari Gempa Cianjur

0
16
Ilustrasi

OPINI

“Cianjur memang sudah lama dikenal sebagai daerah rawan gempa. Memang, daerah rawan gempa dapat dipetakan, namun gempa itu sendiri tidak dapat diprediksi kapan datangnya, apalagi dicegah atau dihalangi,”

Oleh : Rahma,

MUSIBAH gempa Cianjur masih menyisakan kesedihan. Masyarakat pun masih bersedih mengingat gempa terjadi tiba-tiba dengan kekuatan gempa 5,6 SR di kedalanan 10 km membuat sebagian bangunan di Cianjur hancur.

Meski ini belum termasuk gempa besar yang berpotensi tsunami, namun cukup parah dampaknya di beberapa desa di sekitar episentrum. Banyak rumah yang roboh dan menimpa manusia di dalamnya. Sementara ini jumlah korban dan kerusakan masih terus dihitung.

Cianjur memang sudah lama dikenal sebagai daerah rawan gempa. Memang, daerah rawan gempa dapat dipetakan, namun gempa itu sendiri tidak dapat diprediksi kapan datangnya, apalagi dicegah atau dihalangi. Manusia di daerah rawan gempa harus hidup dengan gempa.

Oleh karena, masyarakat yang hidup di daerah rawan gempa harus siap-siap dengan kemungkinan adanya gempa susulan yang tidak bisa diprediksi. Salah satunya dengan mempersiapkan rumah yang tahan terhadap gempa walaupun tak bisa menjamin rumah itu tahan atau tidak jika gempa datang.

Manusia hanya berikhtiar saja, yang menentukan hanya Allah semata. Namun, kondisi ekonomi sering memaksa warga miskin membangun rumah ala kadarnya, sehingga akan cepat runtuh bangunan rumahnya.

Jika sudah begini, apakah rakyat bisa dengan secepatnya memperbaiki rumahnya yang hancur? Mungkinkah ada subsidi perbaikan rumah dari pemerintah agar tahan gempa? Karena masyarakat butuh uluran tangan dari pemerintah untuk membantu mereka, apalagi memang itu kewajiban pemerintah untuk mengurusi rakyatnya baik ketika ada bencana, apalagi sedang tertimpa bencana.

Salah satu tugas pemerintah adalah memastikan seluruh infrastruktur dan bangunan publik (kantor pemerintahan, rumah sakit, sekolah) memenuhi spesifikasi tahan gempa. Setidaknya tidak justru menjadi penghambat ambulance datang untuk menolong karena adanya longsor atau jembatan patah. Dan setidaknya bangunan publik ini pada saat bencana dapat menjadi tempat pengungsian sementara.

Tak hanya itu, yang harus disiapkan juga adalah infrastruktur sosial dan mental spiritual. Dulu, pasca bencana gempa dan tsunami Aceh 2004, banyak daerah melakukan tsunami drill.

Namun kegiatan ini terkesan asal jalan. Ketika proyek selesai, masyarakat dan pemerintah setempat tak merasa perlu melakukannya lagi. Seolah-olah seluruh latihan itu adalah kebutuhan negara donor, bukan masyarakat di sini.

Selain memperkuat kesigapan masyarakat, membangun sikap mental saling menjaga juga penting. Di Jepang, sewaktu gempa 9 SR dan tsunami melanda Sendai tahun 2011 dulu, infrastruktur dan dunia usaha praktis lumpuh.

Banyak warga mengambil sendiri sembako di supermarket. Dan ketika kondisi pulih, warga tersebut kembali ke supermarket, melaporkan barang yang diambilnya saat kondisi darurat, dan mereka antre untuk membayarnya!

Namun, masih sulit membayangkan seperti ini di Indonesia. Meski sulit, kita mesti membangun sumberdaya manusia kita ke sana. Lebih dari itu, kita kembangkan sikap mental spiritual positif.

Gempa itu ujian dari Allah untuk menilai siapa yang lebih baik amalnya. Yang kena musibah diuji kesabarannya. Yang tidak kena musibah diuji solidaritasnya. Dan semuanya diuji agar ke depan makin bertakwa. Adapun yang terkena azab itu jika ahli maksiat tewas saat bencana tanpa sempat bertobat. Bagi ahli taat, mereka mati syahid! [*]

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah