OPINI | POLITIK
“Kepemimpinan kapitalisme negeri ini kurang maksimal dan optimal membuat langkah prepatori dan solusi dalam kaitan bencana ini. Dalam konsep kapitalisme rakyat adalah beban ketika mereka tidak bisa menghasilkan uang,”
Oleh : Mona Ely Sukma,
KABAR duka kembali melanda negeri tercinta, senin 21 November 2022 pukul 12.15 lalu terjadi gempa dengan kekuatan 5.6 SR di wilayah Cianjur seperti dilansir kompas.com.
Guncangan tersebut meluluhlantakkan pemukiman warga. Sekitar 56.320 rumah warga hancur tak bersisa, lebih dari 350 korban jiwa meninggal dunia karena tertimpa rentuhan bangunan. Selain itu korban hilang dan luka-luka juga terus bertambah. Sementara bagi warga yang selamat mereka harus mengungsi di tempat lain untuk sementara waktu.
Belum usai derita masyarakat Cianjur, menyusul gempa di beberapa daerah seperti Garut dan Jember.
Pemandangan begitu memilukan ketika jeritan anak-anak dan bayi saling sahut menyahut. Sungguh inilah lara dan nestapa kita semua.
Gempa memang sebuah peristiwa yang tidak bisa diprediksi kemunculannya, tetapi kecanggihan teknologi saat ini sangat bisa memitigasi bencana. Terlebih telah banyak pakar geologi maupun geodesi yang mampu memetakan potensi gempa mengingat wilayah Indonesia berada di garis katulistiwa.
Sayang, kepemimpinan kapitalisme negeri ini kurang maksimal dan optimal membuat langkah prepatori dan solusi dalam kaitan bencana ini. Dalam konsep kapitalisme rakyat adalah beban ketika mereka tidak bisa menghasilkan uang.
Bagi kapitalisme, mitigasi bencana bukan merupakan langkah produktif yang menghasilkan uang, justru sebaliknya menghabiskan banyak uang. Maka alokasi dana dan anggaran mitigasi bencana tidak proporsional bila dikomparasikan dengan negara yang memang banyak terjadi gempa ini. Anggaran keuangan justru digulirkan pada pembangunan infrastruktur yang tidak koheren dengan kebutuhan rakyat.
Kapitalisme juga telah mengikis hati nurani dari nilai nilai empati. Kaum kapitalis ini akan mengulurkan tangan dan bantuan ketika terjadi bancana, bahkan kadang-kadang bantuan pun datang terlambat.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang melayani dan mengurus kebutuhan umat.
Khalifah adalah ra’in (pelayan) umat dan inilah mindset kepemimpinan dalam Islam. Amanah kekuasaan dalam konsep islam itu memiliki dua konsekuensi, yakni surga atau neraka. Dengan konsep ini, ada atau tidak ada bencana, pemimpin dalam Islam senantiasa tampil optimal mengurus dan melayani kepentingan rakyat.
Kepemimpinan Islam memetakan daerah-daerah potensi gempa dengan teknologi canggih yang dimiliki. Selain itu, konsep kepemimpinan ini melibatkan para ahli sipil, arsitek, dan ahli terkait untuk mendesign bangunan tahan gempa sebagai upaya meminimalisir korban jiwa.
Islam memastikan BMKG memberikan informasi akurat dan menyebarkan kepada warga sehingga mereka bisa melakukan langkah langkah antisipasi. Negara juga memberi edukasi sekaligus mitigasi agar masyarakat tanggap dan mampir keluar dari bencana.
Ketika terjadi bencana, tim SAP yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis menangani bencana diterjunkan untuk membantu korban. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan canggih seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana dan lain-lain.
Sehingga mereka selalu siap sedia diterjunkan di daerah-daerah rawan bencana. Sarana pengungsian yang layak dan terhindar dari penyakit disediakan secara baik. Begitupun dengan dokkter, perawat, dan tenaga medis lainnya dikerahkan untuk mengobati dan menjaga kesehatan korban terdampak hingga pulih.
Sungguh luar biasa kesigapan yang dimiliki para pemimpin Islam terkait penanganan sebuah bencana. Hal ini sudah terbukti di masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab menjabat sebagai khalifah.
Sungguh kita merindukan kepemimpinan seperti Umar Ibn Khattab yang berlaku bijak dan menjamin kesejahteraan rakyat baik saat kondisi normal maupun saat bencana. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah Kampus