Kapitalisasi Ibadah : Naiknya Biaya Haji

0
7
Hana Sheila/Foto : Istimewa

Oleh : Hana Sheila

IBADAH Haji disyariatkan sebagai fardhu ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan mampu sebagaimana yang disampaikan pada Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 97.

Selain ibadah mahdhah, Haji memiliki makna politis dan syiar agama Islam yang terjadi ketika bersatunya kaum Muslimin saat wukuf di Arafah, yakni kaum Muslimin seluruh dunia diikat oleh akidah, kitab,  dan kiblat yang sama serta tidak ada perbedaan kelas dan strata. Mereka berkumpul di Arafah menyerukan talbiah, tahlil, takbir, tahmid, zikir dan doa.

Namun saat ini ibadah Haji saat ini dikerdilkan oleh penguasa kapitalisme, sebagai ibadah ritual semata. Penguasa kapitalisme berorientasi kepada materi dalam setiap kebjakannya tanpa memikirkan lagi bagaimana nasib rakyat, seperti ibadah Haji.

Pasalnya, beberapa waktu lalu Menteri Agama Yaqut Cholil mengusulkan kenaikan biaya haji 2023 sebesar 69 juta. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dari angka 39,8 juta. Padahal pemerintah Arab Saudi berupaya memberikan fasilitas mengurangi biaya Haji dan umrah yang awalnya SR235 menjadi SR87 yang artinya turun 63% mulai 10 Januari 2023.

Kok bisa ya biaya Haji 2023 dinaikkan? Tentu bisa, karena hubungan pemerintah kepada rakyatnya tidak lebih  hanya hubungan antara pebisnis dan konsumen, jauh dari mengurusi urusan rakyatnya.

Oleh karenanya tampak jelas pelayanan penguasa kapitalisme dalam mengurusi urusan ibadah dijadikan ladang bisnis semata. Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan ibadah Haji dalam sistem Islam, karena penguasa merupakan pelayan umat dan setiap kebijakannya senantiasa diupayakan memudahkan rakyatnya.

Penguasa dalam Islam (khalifah) akan memastikan masalah hukum ijra’i (hukum yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah) sistemnya sederhana, eksekusinya cepat dan ditangani oleh orang yang profesional.

Dan khalifah yang mewadahi 50 lebih negara Muslim ini akan  mengambil kebijakan ibadah Haji berupa :

Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurusi Haji dan Umroh dari pusat ke daerah. Tugasnya mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal.

Kedua, ongkos naik H(ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis, besar kecilnya ditentukan berdasarkan jarak wilayah dan akomodasi yang dibutuhkan. Bahkan khalifah akan menyediakan opsi rute baik darat, laut ataupun udara.

Ketiga, penghapusan visa Haji dan Umroh karena negara khilfah merupakan kesatuan dengan negeri kaum Muslimin. Sehingga jika berkunjung ke negara lain hanya perlu menunjukkan kartu identitas atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang jadi warga negara kafir.

Keempat, pengaturan Haji dan Umroh menggunakan database warga negara untuk menentukan prioritas pemberangkatan ibadah Haji dan Umroh dan memberlakukan kewajiban sekali seumur hidup serta yang memenuhi syarat dan mampu. Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah untuk memudahkan ibadah.

Bukti nyata khalifah dalam mengurusi ibadah Haji terlihat pada kebijakan Sultan abdul Hamid II, khalifah pada masa Utsmaniyah. Beliau membangun sarana transportasi masal jalur kereta api (Hijaz Railway) dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah Haji.

Ternyata sebelum masa Utsmaniyah seorang Khalifah Abbasiyah Harun Ar Rasyid membangun jalur Haji dari Irak hingga Hijaz lalu di masing masing titik dibangun pos pelayanan umum yang termasuk logistik dan dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Tidak hanya itu Khalifah Harun ar Rasyid memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang Ulama dan anak-anak mereka bila beliau berhaji.

Namun jika dia sedang berjihad dan tidak bisa berhaji ia menghajikan 300 ulama dan anak-anak mereka. Semua itu berasal dari harta pribadi khalifah. Inilah secuil fragmen sejarah sang khalifah Islam dalam melayani tamu Allah yang tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. [*]

*Penulis Adalah : Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok