Oleh : Hafshah Sumayyah,
PENINGKATAN 70 kali lipat penyakit diabetes melitus pada anak sejak 2010-2023 membuat miris sekali. Belum lagi kasus yang tak terdata pasti masih banyak lagi. Tak heran Indonesia dinobatkan menjadi negara ketiga dengan tingkat konsumsi minuman manis di dunia.
Memang, beredarnya panganan tinggi gula dengan harga yang relatif murah, akses yang mudah dibeli oleh masyarakat, iklan tayangan panganan manis berseliweran di televisi dan media sosial, sehingga menggoda masyarakat untuk mengonsumsinya merupakan faktor-faktor yang mendorong tingginya konsumsi panganan manis pada anak Indonesia. Pasalnya, angka kemiskinan yang meningkat membuat produsen mengutamakan bahan baku yang murah namun berdampak negatif bagi kesehatan. Demi mendapat keuntungan besar, industri makanan abai terhadap syarat kesehatan.
Namun yang lebih penting lagi, semua itu merupakan salah satu dampak dari abainya negara terhadap kesehatan rakyatnya. Tidak tegasnya pemerintah terhadap produsen panganan manis menyebabkan produksi terus berjalan, edukasi yang kurang terhadap masyarakat, sehingga lebih tinggi upaya kuratif dibandingkan promotif dan preventif.
Upaya yang dilakukan sebatas meningkatkan pajak bagi pelaku industri minuman manis tentu tak bisa menyelesaikan akar maslaah. Solusi yang diambil semata dari cara pandang kapitalisme yang masih mengutamakan keuntungan bukan kesehatan rakyatnya. Alhasil anak-anak menjadi salah satu korbannya.
Jika kita merujuk pada sistem Islam, penentuan makanan yang dikonsumsi haruslah halal dan thayyib. Pasalnya, makanan merupakan salah sumber utama yang penting untuk kesehatan masyarakat. Untuk membentuk generasi yang kuat, tangguh, dan cerdas tentu negara Islam wajib memberikan jaminan perlindungan atas terpenuhinya kebutuhan makanan yang halal dan thayyib bagi rakyatnya bukan hanya mementingkan keuntungan semata. [*]
Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok