Lapan6Online : Rafael Alun Trisambodo akhirnya mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK. Ia dijerat pidana gratifikasi melalui perusahaan konsultan pajak miliknya.
Tidak tanggung-tanggung, Rafael yang merupakan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) ini menerima suap hingga Rp1,3 miliar.
Meski berhasil terungkap, namun persoalan suap dibalik pengurusan pajak seperti Rafael Alun masih menjadi suatu persoalan yang perlu dicarikan solusi.
Sebab, modus Rafael memanfaatkan kewenangan pemeriksa pajak dengan memakai perusahaan konsultan miliknya erat dengan pelanggaran.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menilai jika pola seperti itu akan dipakai ketika ada wajib pajak yang mencoba menghindari pajak (tax avoidance).
Padahal, secara umum di dunia, skema penghindaran pajak ada yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
“Di Indonesia, dengan self assessment system (menghitung sendiri) memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang sehingga secara tidak langsung tidak diperkenankan melakukan penghindaran pajak,” kata Yeka seperti yang dikutip dilaman redaksi merdeka.com, pada Selasa (4/4).
Oleh sebab itu, lanjut Yeka, keberhasilan self assessment system bergantung kepada peran otoritas pajak dalam melakukan fungsi pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administratif.
Bila tugas dan kerja itu diabaikan, maka penyelenggara tersebut diduga akan mengakibatkan maladministrasi.
“Kasus tersangka RA, memberikan gambaran bahwa penyelenggara layanan (petugas pajak) sudah terindikasi dengan beberapa bentuk Maladministrasi di dalam UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diantaranya penyalahgunaan wewenang dan kelalaian,” jelasnya.
Aturan Mengikat
Sementara itu, Yeka menilai dari apa yang telah disampaikan KPK, seharusnya Rafael Alun melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan. Namun, malah menyalahgunakannya dengan bermain mata bersama para wajib pajak yang nakal.
Padahal dalam perspektif pencegahan korupsi maupun Maladministrasi, para petugas pajak termasuk Rafael telah diikat dengan kode etik perilaku yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PM.3/2007.
“Di Pasal 4 ya, itu berisi larangan pegawai Dirjen Pajak antara lain tidak menyalahgunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan secara khusus untuk petugas pemeriksa pajak,” katanya.
“Sebagaimana PER 9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang mengatur Perilaku (code of conduct) pemeriksa pajak harus bersikap independen serta jujur dan bersih dari tindakan tercela,” bebernya.
Sedangkan, secara kelembagaan, kata Yeka, seluruh kementerian/lembaga termasuk Kementerian Keuangan sudah seharusnya bebas dari korupsi sebagaimana pencanangan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) yang digaungkan oleh Presiden.
“Bahkan, ASN Kementerian Keuangan merupakan pegawai pemerintah dengan insentif tertinggi. Pemberian insentif tertinggi tersebut dengan tujuan agar etos kerja dan integritas pegawai menghindarkan mereka dari perilaku korup.
Mengapa masih terjadi kasus seperti tersangka RA?” ujarnya.
Cegah Terulang Kembali
Oleh sebab itu, Ombudsman melihat dari kasus Rafael Alun seharusnya pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan (Menkeu) perlu melakukan lima langkah perbaikan, diantaranya;
“Pertama, transparansi kepada publik tentang kasus-kasus yang sedang ditangani oleh inspektorat jenderal kemenkeu atau aparat penegak hukum terhadap potensi “RA” yang lain,” kata dia.
Kedua, lanjut Yeka, perlu mengevaluasi seluruh pejabat di Kemenkeu agar menyampaikan hasil evaluasinya kepada publik sehingga tidak ada spekulasi di masyarakat. Termasuk ketiga menguatkan peran strategis lembaga pengawas external dengan pengawas internal.
“Keempat, evaluasi menyeluruh semua regulasi dan SOP internal kemenkeu yang berpotensi memanfaatkan celah terjadinya praktik korupsi dan Maladministrasi,” sebutnya.
“Kelima, memberikan aturan dalam bentuk surat edaran kepada seluruh pegawai kementerian keuangan agar tidak rangkap jabatan yang berpotensi terjadinya conflict of interest termasuk melarang mempunyai kantor konsultan pajak,” tambah dia.
Modus Rafael
Sebelumnya, Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga menerima USD90.000 atau sekitar Rp1,3 miliar melalui perusahaan konsultan pajak miliknya.
Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengatakan, kasus ini bermula saat Rafael diangkat menjadi Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I pada 2011.
“Dengan jabatannya tersebut diduga RAT (Rafael Alun) menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak atas pengondisian berbagai temuan pemeriksaan perpajakannya,” ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/4).
Firli mengatakan, Rafael juga diduga memiliki beberapa usaha yang satu di antaranya PT Artha Mega Ekadhana (PT AME) yang bergerak dalam bidang jasa konsultansi terkait pembukuan dan perpajakan.
Firli mengatakan, pihak yang menggunakan jasa PT AME adalah para wajib pajak yang diduga memiliki permasalahan pajak. Menurut Firli setiap kali wajib pajak mengalami kendala dan permasalahan dalam proses penyelesaian pajaknya, Rafael diduga aktif merekomendasikan PT AME.
“Sebagai bukti permulaan awal, tim penyidik menemukan adanya aliran uang gratifikasi yang diterima RAT sejumlah sekitar USD90.000 yang penerimaannya melalui PT AME dan saat ini pendalaman dan penelusuran terus dilakukan,” kata Firli.
Atas perbuatannya, Rafael disangka melanggar Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*mdk/rhm/bm/red)\
*Sumber : merdeka.com