Oleh : Dian Ayuningtyas S.Sos
TERJADINYA kasus bunuh diri yang semakin marak akhir-akhir ini membuat kita semakin terheran-heran. Sebenarnya bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Apa pemicunya? Benarkah permasalahan hanya cukup sampai pada individu, karena kurang iman?
Sebagaimana yang dilansir Kompas.Com, pada Rabu, 8 Maret 2023, seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD, 21 tahun ditemukan tewas karena bunuh diri melompat dari lantai 18 apartemen di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tidak lama berselang satu hari kemudian ditemukan kembali kasus Bunuh diri warga Dusun Wirokerten, Bantul pada Kamis, 9 Maret 2023.
Jika kita mengamati kembali, angka bunuh diri di Indonesia sangatlah tinggi. Menurut WHO bunuh diri penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Itu terjadi karena problematika yang dihadapi masyarakat saat ini sangat kompleks mulai dari permasalahan ekonomi, masalah keluarga, luka pengasuhan, hingga pergaulan. Kasus bunuh diri juga menjadi cermin terganggunya kesehatan mental warga.
Ada banyak faktor yang berpengaruh, mulai dari sedikitnya jam pelajaran agama, kurikulum bermasalah, hingga pada pola asuh yang salah sehingga generasi menjadi rapuh. Semua mengerucut pada buruknya sistem yang dianut dan penguasa yang abai atas rakyat.
Banyak hal yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak yang berwenang agar bisa menekan angka bunuh diri yang terjadi. Sebagaimana yang pernah terjadi di Gunungkidul, Yogyakarta, sejumlah stakeholder menggelar forum motivasi moderasi beragama di rumah dinas penguasa setempat.
Meski nasihat yang disampaikan seputar ajakan agar tidak mudah putus asa, selain itu program ini juga memberikan sembako pada fakir miskin, pemberian modal dan lain-lain tapi sejauh ini belum bisa menjadikan solusi bagi problematika masyarakat.
Bahkan, para pakar juga sudah mengeluarkan berbagai pendapat dan programnya, bahkan penguasa pun memberikan solusi lewat peraturan hidup bagi masyarakat. Tapi, mengapa peraturan dan hukum yang ada belum solutif juga? Justru malah semakin memperparah kondisi mental pada masyarakat.
Sistem kapitalisme sekuler (memisahkan agama bagi kehidupan) menjadi biang keladi bagi permasalahan yang terjadi. Sistem kapitalisme itu ibarat api yang terlanjur merusak sendi-sendi kehidupan, termasuk menciptakan gangguan mental pada masyarakat.
Kegagalan sistem kapitalisme sekuler telah terbukti dari berbagai bidang. Salah satunya ketidakmampuan sistem kapitalisme mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakat. Bahkan tidak memiliki konsep kebahagiaan itu sendiri.
Sistem ini mengukur kebahagiaan dari sisi kepuasan fisik dan jasmani dengan nilai banyaknya harta yang dimiliki telah melahirkan masyarakat yang sakit, rakus, individual dan meterialisme. Pijakan asasnya yang sekuler membuat jiwa masyarakat gersang dan kering sehingga melahirkan kondisi masyarakat yang rentan depresi/stres.
Negara kapitalis pun berusaha mewujudkan kebahagiaan semu dengan menetapkan 20 Maret sebagai Hari Bahagia Sedunia (International Day of Happiness) yang disahkan oleh PBB pada 28 Juni 2012. Pada 2011, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mengakui kebahagiaan sebagai tujuan dasar manusia. Menyerukan pendekatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, adil dan seimbang untuk kebahagiaan dan kesejahteraan.
Walaupun sudah dicanangkan hari bahagia sedunia, namun kapitalisme gagal mewujudkan kebahagiaan. Buktinya, banyak masyarakat yang sakit jiwa. Parahnya, konsep kebahagiaan ala kapitalisme ini diadopsi oleh masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim di dunia. [*]
*Sumber : Aktivis Muslimah