Jadi Jurnalistik Profesional, Tak Jadikan Obrolan “Warung Kopi” Sebagai Berita

0
7
H. Kamsul Hasan/Foto : Ist.
“Sedangkan Jurnalistik Profesional diawali dari proses pencarian bahan berita. Hal ini diatur oleh Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengenai wartawan professional,”

Oleh : H. Kamsul Hasan

SEKEDAR pengingat catatan Jurnalistik Presisi, butuhkan rasa ingin tahu wartawan lebih detail terhadap usia seseorang yang berhadapan dengan hukum. Agar karya jurnalistik tak tersandung hukum !

Jurnalistik Presisi ini terutama dibutuhkan pada penyajian Anak Berhadapan dengan Hukum atau sering disingkat ABH. Ada rambu hukum lain yang harus diperhatikan, yaitu UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Wartawan harus “kepo” terhadap dua usia ABH yang disampaikan Aparat Penegak Hukum (APH) yaitu mereka berusia 12 tahun dan atau 18 tahun sehingga perlu detail mengetahui bukan hanya tahun dan bulan tetapi juga tanggal kelahiran.

Jurnalis jangan hanya mendengar sepintas seperti obrolan warung kopi lalu dijadikan bahan berita. Sudah seharusnya informasi awal itu dijadikan petunjuk untuk dikembangkan sehingga menjadi kerja profesional dengan hasil presisi.

UU SPPA dengan tegas mengatur anak yang belum berusia genap 12 tahun saat melakukan peristiwa hukum tak bisa diajukan proses hukum ke pengadilan.

Terkait mereka yang belum genap 18 tahun oleh UU SPPA dimasukkan sebagai ABH, sehingga tata cara dan proses penyidikan maupun pemberitaan kasusnya diatur secara khusus.

Memberitakan anak 12 tahun dan atau 18 tahun tanpa pendalaman adalah kegiatan jurnalistik warung obrolan warung kopi. Seharusnya didalami saat peristiwa hukum terjadi dengan tanggal kelahiran anak itu sendiri.

Sedangkan Jurnalistik Profesional diawali dari proses pencarian bahan berita. Hal ini diatur oleh Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengenai wartawan profesional.

Obrolan warung kopi yang didengar wartawan, belum menjadi bahan berita. Informasi itu baru ‘petunjuk’ dan harus dilanjutkan dengan proses jurnalistik.

Informasi awal itu harus diuji sesuai perintah Pasal 3 KEJ. Selain itu sumber terkait yang didengar pada informasi awal perlu dikonfirmasi, agar berimbang sesuai Pasal 1 KEJ.

Perlu menjadi catatan saat melakukan uji informasi dan proses keberimbangan perlu memahami rambu Pasal 19 UU SPPA dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dalam kasus ABH.

Melakukan proses jurnalistik sesuai Pasal 1 dan Pasal 3 ini pada umumnya untuk menghindari terjadinya fitnah atau berita bohong seperti dimaksud Pasal 4 KEJ atau salah terkait usia ABH.

Itu semua proses jurnalistik yang harus dilakukan reporter atau wartawan.

Setelah itu baru dibuat menjadi naskah berita dan diserahkan ke redaktur.

Fungsi redaktur kembali meneliti apakah proses Jurnalistik Profesional sudah dilakukan dan melakukan editing lanjutan dengan memastikan kerja profesional, presisi dan taat rambu.

Naskah berita yang diterima apakah terkait masalah kesusilaan atau anak berhadapan dengan hukum.

Bila, iya maka dia harus lebih serius ;
1. Apakah Pasal 5 KEJ dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers sudah dipatuhi ?
2. Apakah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sudah oke
3. Masih ada atau tidak potensi pelanggaran terhadap Pasal 19 dan definisi ABH yang diatur UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Meski sudah melakukan proses kerja dengan ketat, ternyata produk jurnalistik pasca produksi masih bisa ditemukan persoalan.

Pers profesional bukan berarti tidak pernah melanggar, namun saat menyadari terjadi pelanggaran tidak perlu malu untuk melakukan koreksi.

Itu sebabnya perusahaan pers yang melakukan verifikasi faktual Dewan Pers diwajibkan memiliki ombudsman. Kerja ombudsman membaca karya jurnalistik pasca layak siar atau terpublikasi.

Temuannya diberikan kepada penanggung jawab atau pemimpin redaksi untuk dijadikan bahan koreksi. Bentuk koreksi dengan menghilangkan identitas ABH atau korban kesusilaan sampai take down pemberitaan.

Hak Koreksi diatur Pasal 5 ayat (3) UU Pers, Pasal 10 KEJ dan butir 4 maupun butir 5 Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) bagi platform media online.

Jurnalistik Profesional tidak perlu malu melayani Hak Jawab seseorang atau kelompok orang karena itu perintah Pasal 5 ayat (2) UU Pers.

Melalui kepatuhan kerja profesional ini diharapkan sengketa pemberitaan akan dapat diminimalisir dan kemungkinan DDoS attack tidak dilakukan. (***)

*Penulis Adalah Ahli Pers Dewan Pers

*Sumber : Koranpagionline