“Meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini untuk koperatif dan tidak melakukan Tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti,”
MAKASSAR | SULSEL | Lapan6Online : Tim jaksa penyidik pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan terus menunjukkan taringnya dalam proses penegakan hukum di Kota yang berjuluk Anging Mammiri tersebut.
Setelah berhasil mengungkap sejumlah kasus korupsi, kali ini tim penyidik yang dipimpin Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel, Dr Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH MH, dugaan praktik mafia tanah pada pembangunan Bendungan Pasellorang di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) tahun 2021.
“Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 75,6 miliar lebih,” ujar Kajati Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan persnya kepada wartawan, pada Jumat (21/07/2022) kemarin.
Dia menjelaskan, berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor: Print- 92/P.4/Fd.1/ 01/2023 tanggal 31 Januari 2023, Tim Penyelidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan telah melakukan penyelidikan atas dugaan Mafia Tanah pada Pembayaran Biaya Ganti Rugi Lahan Masyarakat untuk kegiatan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2021.
Setelah hampir 6 bulan lamanya melakukan pengumpulan data (puldata) dan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket), lalu pada hari Kamis(20/07/2023) dilakukan ekspose (gelar perkara), hasilnya peserta ekspose (eksposan) berkesimpulan kasus tersebut layak ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tim penyidik menemukan adanya peristiwa pidana.
Selanjutnya dilakukan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print – 664/P.4/Fd.1/07/2023 Tanggal 20 Juli 2023.
Adapun kasus posisi perkara tersebut sebagai berikut :
– Pada tahun 2015 Balai Besar wilayah sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan Fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng Kab. Wajo, dan untuk kepentingan pembangunan Bendungan tersebut Gebernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Passeloreng Kab. Wajo.
– lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo memerlukan lahan/tanah terdiri Lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Passeloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebaga Kawasan Hutan HPT.
– Bahwa melalui proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Panselloreng di Kabupaten Wajo, pada tanggal 28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas 91.337 HA, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 HA di Provinsi Sulawesi Selatan.
– Setelah dikeluarkan sebagai Kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kab.Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021, lalu SPORADIK tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan SPORADIK tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah Kawasan hutan.
– Kemudian sebanyak 246 bidang tanah tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum tersebut;
– Bahwa berdasarkan Foto citra satelit yang dikeluarkan tahun 2015 oleh badan informasi Geospasial (BIG), nampak bahwa ex kawasan hutan tersebut pada 2015 masih merupakan kawasan Hutan dan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat, dengan demikian lahan tersebut tidaklah termasuk dalam kategori sebagai lahan Garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
– Bahwa setelah dinyatakan memenuhi syarat oleh Satgas A dan Satgas B untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian terhadap 246 bidang tanah tersebut, kemudian dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paseloreng yang selanjutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah dan tanaman serta jenis dan jumlahnya, namun dalam pelaksanaannya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel.
– Bahwa kemudian berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut BBWS Pompengan meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai Lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut, sehingga LMAN melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seLuas 70,958 Hektar dengan total pembayaran sebesar Rp. 75,6;/ miliar.
– Bahwa oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan ex-Kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 75,6 miliar lebih karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan, instansi yang memerlukan tanah cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kajati Sulsel yang kerap disapa Leo Simanjuntak itu, meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini untuk koperatif dan tidak melakukan Tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti.
“Sehingga dapat mempersulit jalannya pemeriksaan,” tegas Leo. (*Kop/Syamsuri/MasTe/Lpn6)