Kisruh PPDB Zonasi, Bukti Nihilnya Pemerataan Pendidikan Di Indonesia

0
22
Ami Pertiwi Suwito/Foto : Istimewa

OPINI | EDUKASI | POLITIK

“Namun setelah sistem ini dievaluasi, ternyata terjadi banyak kecurangan seperti memberi uang sogokan kepada oknum sekolah negeri terkait. Akibatnya?,”

Oleh : Ami Pertiwi Suwito

SETIAP tahun di Indonesia, jutaan putra-putri yang ingin memulai/melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan mencari sekolah. Ketika siswa-siswa tersebut memilih sekolah baru, tentunya banyak pertimbangan yang mereka lakukan bersama orangtua sebelum mengambil keputusan.

Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan siswa dan orangtua saat memilih sekolah seperti biaya, mutu, peluang masuk PTN (bagi siswa yang akan masuk SMA), lingkungan pergaulan, dsb. Berangkat dari situ, tak sedikit siswa dan orangtua mengejar sekolah negeri dengan alasan biaya murah sehingga memicu persaingan. Belum lagi sekolah negeri unggul di tiap-tiap wilayah, persaingan masuk sekolah negeri unggul inilah yang cukup dahsyat.

Persaingan memasuki sekolah negeri inilah yang mendorong berbagai tindakan kecurangan demi memasuki sekolah negeri idaman. Jika kita melihat sebelum tahun 2017, parameter pertama yang dipakai untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri adalah nilai ebtanas murni (NEM).

Selain ada parameter kedua yakni zonasi (wilayah rumah/sekolah asal calon peserta didik). Artinya, sebelum tahun 2017 nilai ujian nasional dan zonasi menjadi penentu utama diterimanya calon peserta didik. Namun setelah sistem ini dievaluasi, ternyata terjadi banyak kecurangan seperti memberi uang sogokan kepada oknum sekolah negeri terkait. Akibatnya, tak sedikit sekolah negeri saat itu menerima jumlah peserta didik melebihi kapasitas aslinya.

Mulai tahun 2017, PPDB dengan sistem zonasi resmi dikeluarkan oleh Kemendikbud. Dalam sistem PPDB baru ini, penerimaan calon peserta didik berdasarkan zonasi mendapatkan kuota terbesar. Berdasarkan Permendikbud no.1 Tahun 2021, kuota penerimaan jalur zonasi untuk jenjang SD adalah sebesar 70% dari daya tampung sekolah.

Selebihnya, terdapat kuota penerimaan sebesar 15% untuk jalur afirmasi dan 5% untuk jalur perpindahan orangtua. Adapun untuk jenjang SMP dan SMA, kuota penerimaan jalur zonasi adalah sebesar 50% dari daya tampung sekolah. Selebihnya, terdapat kuota penerimaan sebesar 15% untuk jalur afirmasi, 5% untuk jalur perpindahan orangtua, dan 20% untuk jalur prestasi.

Tujuan diberlakukannya sistem PPDB zonasi ini memang dimaksud untuk mempercepat pemerataan pendidikan yang berkualitas. Karena sebagian besar kuota PPDB yang tak lagi berdasarkan nilai akademik, tetapi wilayah tempat tinggal siswa.

Dengan harapan tidak ada lagi kasta dalam pendidikan seperti sekolah negeri unggul versus sekolah negeri tidak unggul. Namun sejak sistem ini diberlakukan, justru berbagai kecurangan muncul dengan bentuk yang beragam. Mulai dari kecurangan data kependudukan untuk menentukan zina siswa, pungutan liar, jual beli kursi, hingga titipan oknum pejabat.

Pada bulan Juli 2023, diberitakan bahwa SMA Negeri Bogor 1 hanya menerima 4 peserta didik pada daerah sekitar dari total 161 peserta didik yang diterima melalui jalur zonasi. Peristiwa ini lagi-lagi disebabkan oleh kecurangan data, seperti penggunaan KK palsu, pindah KK, dsb. Ini sudah menjadi bukti bahwa PPDB zonasi ini tidak berhasil membentuk pemerataan pendidikan di Indonesia.

Dalam sekejap kita mungkin berfikir bahwa solusi dari masalah PPDB zonasi ini adalah proses verifikasi yang lebih ketat terhadap berkas calon peserta didik. Namun itu tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Nihilnya pemerataan pendidikan di negeri ini sesungguhnya berakar dari sistem kehidupan yang saat ini dianut oleh Indonesia, yakni sistem kapitalisme sekuler.

Mengingat pemerataan pendidikan adalah tugas utama negara, maka tak heran bila pemerataan tersebut gagal dengan sistem batil yang dipraktikkan oleh negara. Sebab dalam sistem kapitalisme sekuler, pendidikan yang seharusnya diperlakukan sebagai hajat utama masyarakat malah dijadikan sebagai barang dagang. Akibatnya, jumlah institusi pendidikan milik negeri tak sebanding dengan total penduduk usia produktif.

Adapun calon peserta didik yang gagal masuk sekolah negeri terpaksa mencari sekolah swasta. Dengan kata lain, banyak pelajar yang terpaksa menimba ilmu di institusi pendidikan yang jarang/tidak mendapat subsidi dana dari pemerintah.

Ditambah lagi dengan fenomena desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan antara mutu pendidikan di perkotaan dan pedesaan. Inilah wajah sistem kapitalisme sekuler, berbagai institusi swasta dan kelompok masyarakat dipaksa untuk menjadi tulang punggung negara. Sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator dan pembuat kebijakan dengan campur tangan tokoh elit. [*]

*Penulis Adalah Mahasiswi