Atasi Kasus Bullying dengan Sistem Pendidikan Islam

0
7
Awanda Rizkia Locha/Foto : Ist.
“Anak-anak yang cenderung masih labil tak akan mengambil pusing dengan akibatnya. Mereka bahkan tidak takut akan bahaya ketika berani memukul teman yang menurut mereka sudah mengusik dirinya,”

Oleh : Awanda Rizkia Locha,

SELAMA periode Januari-Juli 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat telah terjadi 16 kasus perundungan di satuan pendidikan. Empat di antaranya bahkan terjadi saat tahun ajaran baru (2023/2024) dimulai pada Mei-Juli 2023.

Sebagaimana yang dikatakan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti yang diberitakan voaindonesia.com, 5 Agustus 2023, dari 16 kasus perundungan pada satuan pendidikan mayoritas terjadi di tingkat sekolah dasar sekitar 25 persen, sekolah menengah pertama sekitar 25 persen, sekolah menengah atas sekitar 18,75 persen dan sekolah menengah kejuruan sekitar 18,75 persen.

Retno juga merinci jumlah korban perundungan di satuan pendidikan berjumlah 43 orang yang terdiri dari 41 peserta didik (95,4 persen) dan dua guru (4,6 persen) dan pelaku juga bukan hanya dari kalangan murid atau teman sebaya, melainkan 5,3 persennya dilakukan oleh pendidik serta sisanya orang tua dan satu kepala madrasah. Sementara aturan Permendikbud 82 tahun 2015, tentang kasus perundungan masih dikatakan belum efektif untuk mengatasi kasus-kasus bullying dalam pendidikan.

Kasus-kasus perundungan ini tentunya membuat wali murid korban maupun yang bukan korban menjadi waspada terhadap pergaulan anak-anak mereka terutama di sekolah. Pasalnya, salah satu pemicu utama terjadi bullying di sekolah dimulai dari saling mengejek hingga terjadi adu mulut dan berakhir tidak terima.

Anak-anak yang cenderung masih labil tak akan mengambil pusing dengan akibatnya. Mereka bahkan tidak takut akan bahaya ketika berani memukul teman yang menurut mereka sudah mengusik dirinya.

Salah satu contohnya seorang siswi SMP yang dianiaya temannya di BauBau Sulawesi Utara, berawal dari kesalahpahaman yang membuat salah seorang temannya tersinggung dan tidak terima kemudian merencanakan perundungan tersebut.

Faktor lainnya yang menjadi pemicu tindakan bullying juga ada pada pengasuhan orang tua. Orang tua sudah gagal menjadikan anak-anaknya pribadi yang shalih dan shalihah karena kurangnya menanamkan pendidikan agama kepada mereka. Ditambah pula kepribadian anak yang cenderung tertutup dan juga lingkungan tempat ia bertumbuh kembang.

Semua itu terjadi karena sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem pendidikan sekuler. Dari pendidikan sekuler, kita dapat melihat anak-anak melupakan identitas mereka sebagai remaja Islam yang akan memimpin di masa yang akan datang. Akibatnya, peraturan yang ada seakan menjadi angin lalu saja, mereka tidak takut dengan aturan. Ego yang didahulukan serta hasutan hawa nafsu membuat mereka buta hingga mereka nekat melakukan bullying yang dapat berimbas kehilangan nyawa. Bagi mereka kepuasan dalam melampiaskan hawa nafsu terhadap korban adalah hal utama, tak peduli jika itu hanya kesalahpahaman semata.

Oleh karenanya hal mendasar yang harus diubah agar kasus bullying ini tidak terjadi lagi yakni dengan mengubah sistem pendidikan sekuler menjadi sistem pendidikan Islam. Karena dalam sistem pendidikan Islam akan melibatkan seluruh komponen baik keluarga, masyarakat, dan lingkungan pendidikan untuk saling bekerja sama dalam rangka membentuk generasi yang berkepribadian Islam, yakni aqliyah maupun nafsiyah berdasarkan Islam. (*)

*Penulis Adalah Pelajar di Depok