“Jika ada bukti SHM No 100 misalnya dan pihak Jakpro tidak pernah mengakui, maka pemegang sertifikat bisa mengajukan sita tarik atas sebagian tanah yang kini sudah dibangun fasilitas untuk LRT Jakarta itu,”
Jakarta | Lapan6Online : Sejak tahun 2001, sudah ada perintah Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, untuk segera melakukan pembayaran atas tanah SHM No 100; SHM No 79; SHM No 52 dan Girik C No 62 atas nama Nasan bin Ridi Cs terletak di lokasi yang kini dikuasai Jakarta Propertindo, badan usaha milik Pemprov DKI Jakarta yang menjalankan usaha dan pelayanan LRT Jakarta.
Pembangunan Stasiun dan Depo Light Rail Transit (LRT) Pegangsaan Dua Kelapa Gading, Jakarta Utara, selesai sudah. Namun di balik itu sebenarnya masih menyisakan masalah. Dan bisa jadi pembangunan proyek transportasi massal ini dibangun di atas tanah bermasalah.
Begitu halnya apabila penggunaan anggaran pemerintah untuk pembangunan proyek di atas tanah bermasalah, termasuk tindak pidana korupsi (tipikor). Oleh sebab itu, jika Pemerintah Povinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui PT Jakarta Propertindo (Jakpro) tetap bersikukuh, bahwa pembangunan Stasiun dan Depo Light Rail Transit (LRT) Pegangsaan Dua Kelapa Gading, Jakarta Utara di atas tanah tanpa masalah, perlu diingatkan adanya potensi tindak pidana korupsi (Tipikor).
Hal tersebut disampaikan Direktur Exsekutif Government Againts Corruption & Discrimination (GACD) Andar M Situmorang SH MH, pada Kamis (31/08/2023) kemarin saat mengomentari pembangunan Stasiun LRT Jakarta Pegangsaan Dua Kelapa Gading, Jakarta Utara di atas lahan warga yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Jika ada bukti SHM No 100 misalnya dan pihak Jakpro tidak pernah mengakui, maka pemegang sertifikat bisa mengajukan sita tarik atas sebagian tanah yang kini sudah dibangun fasilitas untuk LRT Jakarta itu,” jelasnya.
Persoalan tanah ini berlarut-larut, sejak terbitnya Sertifikat Hak Pakai dengan catatan sertifikat hak milik atas lahan tersebut tidak ditemukan. Alasan tersebut didasarkan gugatan dari ahli waris, yang ditolak karena tidak memiliki bukti sertifikat kepemilikan atas lahan di Pegangsaan Dua tersebut.
Padahal, sejak tahun 2001 sudah ada perintah Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, untuk segera melakukan pembayaran atas tanah SHM No 100; SHM No 79; SHM No 52 dan Girik C No 62 atas nama Nasan bin Ridi Cs yang terletak di lokasi yang kini dikuasai Jakarta Propertindo, badan usaha milik Pemprov DKI Jakarta yang menjalankan usaha dan pelayanan LRT Jakarta.
Sikap nekat Pj Gubernur Heru Budi Hartono mengabaikan permasalahan ini, seharusnya bisa menyeretnya sebagai pelaku tindak pidana korupsi. “Sebagai penanggung jawab Jakpro, siapapun gubernurnya seharusnya jangan sampai tidak melindungi warganya. Dan jika tidak terealisasi penyelesaian ganti rugi, itu sama artinya merampok tanah rakyat,” tegas Andar.
Khusus tentang posisi kasus pemegang SHM No 100 Pegangsaan Dua, kata Andar, pihak Jakpro atau Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta bisa dengan obyektif meneliti riwayat tanah yang kini sudah berdiri bangunan stasiun dan depo LRT. Dam jangan hanya bernafsu ingin menyukseskan program penyelenggaraan transportasi massal, lalu Pemprov DKI Jakarta menabrak aturan yang ada.
Bukti Kuat
Sikap pihak pemegang Sertifikat No 100 Pegangsaan Dua mempermasalahkan haknya, sangat dibenarkan. Sebab, posisi kasus penuntuan hak ganti-rugi atas tanahnya sangat kuat, didasarkan bukti SHM yang sah.
Rencana pembangunan LRT Jakarta mengacu pada Peraturan Presiden No 99 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Transportasi Umum di Provinsi DKI Jakarta. LRT Jakarta diharapkan jadi pelengkap transportasi umum di Jakarta untuk mempersiapkan Asian Games 2018.
Menyikapi hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta menunjuk langsung PT Jakarta Properindo dan PT Pembangunan Jaya untuk membangun LRT Jakarta.
Sayangnya, nafsu ingin menyukseskan percepatan penyelenggaraan transportasi umum itu, terkesan pembangunanya menempuh jalan pintas yang salah. Jika diibaratkan nasi sudah menjadi bubur, seharusnya para pihak terkait jangan sampai berpikir membuang makanan yang sudah tersaji.
Kasus ini jelas sangat merugikan keuangan negara, akibat Pemprov DKI Jakarta melalui Jakpro, telah membangun fasilitas LRT di tanah yang belum clean and clear secara hukum. “Jadi aksi ini masuk kategori tindak pidana korupsi,” sambungnya.
Mengkritisi masalah ini, lebih lanjut Andar Situmorang meminta Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono untuk tidak meninggalkan noda hitam dalam melaksanakan tugas memimpin Jakarta. Sebagai pejabat ‘kesayangan’ Joko Widodo seharusnya tetap menjaga marwah presiden.
Pak Jokowi akan mengakhiri jabatan presiden Oktober 2024. Jadi sudah seharusnya Heru Budi Hartono bisa menyelesaikan masalah tanah untuk LRT Pegangsaan Dua dengan lebih bijak selagi menjadi pejabat Gubernur DKI Jakarta,” tutur Andar M Situmorang mengakhiri pembicaraannya. (* Kop/MasTe/Lpn6)