OPINI | POLITIK
“Pengelompokan titik api menjadi penting dalam bahasan yang tidak saja berhenti pada tataran akar rumput atau masyarakat umum. Melainkan ditindaklanjuti melalui tataran kebijakan oleh pemangku kebijakan,”
Oleh : Alfonso Munte, M.Pd.K., M.Si
SETIAP musim kemarau, kebakaran sebagai aksiologis degradasi lingkungan merupakan konsekuensi logis yang ditimbulkan sijago merah yang berusaha melalap apa saja yang berada di depannya.
Peluang kebakaran mampu merusak tatanan sosial dan aktivitas masyarakat di perkotaan dan di pedesaan. Kalimantan Tengah bukan pengecualian dalam persoalan ekologi utama dunia ini. Deforestasi ini juga merusak tatanan iklim global.
Akibatnya, menurut Astuti dkk., yang berfokus pada distribusi spasial pada anak-anak pengidap ISPA tahun 2015 menginformasikan melalui data Puskesmas yang berlokasi di Palangka Raya menampilkan fenomena kebakaran hutan yang tidak terjadi pada titik-titik tertentu melainkan secara berkelompok atau membentuk klaster (Astuti et al., 2022).
Artinya, pengelompokan titik api menjadi penting dalam bahasan yang tidak saja berhenti pada tataran akar rumput atau masyarakat umum. Melainkan ditindaklanjuti melalui tataran kebijakan oleh pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah pusat ataupun/dan daerah setempat.
Hasil akhir kebijakan menurut penulis adalah kebijakan holistik yang mengurat-akar pada konsesi ataupun ratifikasi bersama pada tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan negara-negara ASEAN sebagai negara terdampak kabut asap yaitu beralaskan pada kesadaran distributif pada ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).
Polusi Kabut Asap atau Asbut merupakan gas berbahaya berupa himpunan partikel yang mengandung fotokimia dan unsur Sulfur Dioksida (SO), Nitrogen Dioksida (NO2), dan Karbon Monoksida (CO).
Gas berbahaya tersebut mampu menghasilkan penyakit pernapasan seperti asma, inpeksi saluran pernapasan (ISPA) hingga pada penyakit kanker paru-paru. Hayakasa (2023) dalam bukunya “Air Pollution Caused by Peatland Fires in Central Kalimantan” menyebutkan kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah berdasarkan tahun 2002 sebagai tragedi polutan udara sebagai perusak keanekaragaman hayati terburuk melalui uji laboratorium berciri khas seperti pembaraan gambut yang mampu menahan api dalam waktu lama (Hayasaka & Usup, 2023).
Polusi kabut asap ini tidak hanya terhenti pada tahun-tahun sebelumnya, penulis hingga saat ini, 03 Oktober 2023 turut serta menjadi penghirup gas kimia sekaligus berbahaya tersebut.
Berdasarkan data-data yang bersumber dan berlokasi di Kalimantan tersebut, peneliti merasakan empati sekaligus gusar atas dampak logis penyakit yang mampu mengarah pada ISPA sebagai penyakit yang membahayakan tubuh masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah.
Sebagai bahan pembanding, peneliti melihat kajian terdahulu yakni kajian Rochwulaningsih dkk., yang menampilkan ratifikasi pemerintah sebagai ruang komitmen politik per-September 2014 melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) bahwa Indonesia sebagai bagian dari ASEAN sekaligus pemilik hutan terluas di dunia selalu dan secara konsisten berpatokan dan berkomitmen politik tersebut (Rochwulaningsih et al., 2022).
Berdasarkan konsesi politik AATHP tersebut, penulis hendak menyampaikan bahwa komitmen dan praktik politik atas polusi udara tidak saja menguntungkan masyarakat Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah, tetapi juga menguntungkan warga negara yang tergabung dalam ASEAN. Keuntungan kesadaran politik tersebut menurut penulis mampu mereduksi konflik internasional yang kerap merembet pada konflik maritim, sosio-ekonomi, budaya, agama dan sistem finansial sebagai bagian dari isu politik internasional.
Transformasi kesadaran menurut peneliti tidak saja berhenti pada ruang aksi masyarakat setempat tetapi juga berada pada aksi sadar sekaligus empati pada korban (subjek terdampak) akibat konsekuensi yang ditimbulkan asap. Kesadaran disini sejalan dengan filsafat politik sebagai kenyataan konkrit sekaligus logis yang mampu menembus akal budi masing-masing pembuat kebijakan dan warga negara melakukan sinergitas komunal mutualis.
Kesadaran itu sendiri tidak pernah usai, final dan berhenti. Ia sendiri adalah aktivitas proses itu sendiri tanpa kenal waktu, ruang dan tempat. Kesadaran bukanlah sebuah bayang-bayang dalam ruang absurditas.
Kerja-kerja kesadaran menurut penulis mengarah dan terjerumus dalam rasionalitas dan perwujudan nilai-nilai keadilan komunal yang tidak hanya berhenti pada agama, suku dan budaya tertentu, tetapi meluas bahkan melampui sekat-sekat identitas.
Demikian juga kesadaran politik yang telah teratifikasi melalui AATHP kiranya menjadi monumen kesadaran politik bagi pembuat kebijakan yang disadarkan dan dievaluasi secara berkelanjutan demi kemaslahatan insan yang terdera polusi udara. Kesadaran politik sebagai aksialisasi keadilan distributif.
Daftar Pustaka
Astuti, Y., Permana, I., Ramadhan, B., & Hussein, R. (2022). Distribution Pattern of Children with Acute Respiratory Infection during Forest fire at Central Kalimantan Indonesia. Bangladesh Journal of Medical Science, 21(1).
Hayasaka, H., & Usup, A. (2023). Air Pollution Caused by Peatland Fires in Central Kalimantan. In Vegetation Fires and Pollution in Asia (pp. 401–415). Springer.
Rochwulaningsih, Y., Masruroh, N. N., Sholihah, F., Mufidah, R., & Budiyanto, S. (2022). Smoke-haze and Forest Fire in Kalimantan: How is the Reform regime responses? E3S Web of Conferences, 359, 2024.
Sellan, G., Majalap, N., Thompson, J., Dise, N. B., Field, C. D., Pappalardo, S. E., Codato, D., Robert, R., & Brearley, F. Q. (2023). Assessment of Wet Inorganic Nitrogen Deposition in an Oil Palm Plantation-Forest Matrix Environment in Borneo. Atmosphere, 14(2), 297.
(*)
*Penulis Adalah Dosen Filsafat Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya, Kementerian Agama Republik Indonesia