Mengembalikan Spirit Para Santri Untuk Islam

0
8
Hana Sheila/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Akibatnya potensi santri hari ini dibajak hanya untuk mencetak wirausahawan bukan mencetak ahli fiqih agama yang sadar dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat,”

Oleh : Hana Sheila

PADA Ahad 22 Oktober 2023 lalu, pemerintah memperingati hari santri nasional dengan menggelar apel di tugu pahlawan, Surabaya, Jawa Timur. Dalam acara tersebut pemerintah mengajak semua pihak untuk terus menjaga semangat menghadapi situasi dan kondisi saat ini seperti krisis ekonomi, pangan dan energi akibat perang.

Sejak 2015, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai hari santri nasional dilatarbelakangi semangat untuk mengenang resolusi jihad. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari; pendiri Nahdlatul Ulama saat kemerdekaan Indonesia.

Ia menyatakan fatwa bahwa melawan penjajah itu wajib fardhu ain dan meninggal karena melawan musuh adalah mati syahid. Fakta ini menggugah semangat para santri untuk berjuang demi kepentingan bangsa, negara dan agama.

Pernyataan KH Hasyim Asy’ari itu sebetulnya menunjukan besarnya kontribusi kaum Muslimin khususnya para santri dalam perjuangannya melawan penjajah di negeri ini. Seruan jihad melawan penjajah Belanda yang menyerang Surabaya dan pekikan takbir Bung Tomo terbukti mampu menyemangati arek-arek Suroboyo untuk mengambil peran dalam mengusir penjajah.

Seruan tersebut merupakan panggilan agama, bukan nasionalisme. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an surah al-Baqarah ayat 191 yang artinya, “Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjid al-Haram kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.”

Namun sayang, motivasi tersebut dibajak dan mengalami degradasi akibat penerapan sistem sekularisme yang semakin mencengkeram di negeri ini. Kehidupan sekularisme yang berasaskan kebebasan individu menjadikan manusia diatur tidak oleh hukum syariat namun diatur oleh kepentingan manusia atau materi. Akibatnya potensi santri hari ini dibajak hanya untuk mencetak wirausahawan bukan mencetak ahli fiqih agama yang sadar dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat.

Tak hanya itu, kaum santri sekuler hanya mencukupkan belajar agama di pesantren. Ilmu yang mereka dapat seolah-olah hanya berlaku di pesantren, dan setelah keluar dari pesantren mereka seperti buku berjalan yang mengetahui hukum syariat namun tidak menghukumi masalah umat hari ini.

Namun, kaum Muslimin hari ini mengalami kehinaan dan kenestapaan yang tak terkira padahal hidup di negeri yang kaya sumber daya alamnya. Mereka hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan kesengsaraan. Karena kekayaan yang dimiliki dikuasai oleh pihak asing yang dilegalkan oleh penguasa sendiri. Belum lagi kaum Muslim di Palestina yang tidak berhenti menerima kezaliman dari zionis Yahudi laknatullah yang didukung oleh Amerika dan Eropa.

Maka, peringatan hari santri ini sebagai momentum mengembalikan semangat berjihad untuk para santri dalam makna yang sebenarnya. Apalagi Indonesia merupakan Muslim terbesar di dunia serta memiliki lebih dari 36 ribu pesantren yang tersebar. Jelas ini merupakan potensi besar untuk menentukan masa depan bangsa.

Hanya saja agar potensi besar tersebut terarah dan menjadi kekuatan yang besar bagi bangsa. Tentulah harus merubah cara pandang yang shohih yaitu cara pandang kehidupan Islam. Karena Islam mendorong setiap Muslim berperan dalam kehidupan sesuai tuntunan Islam. Seperti firman Allah dalam Qur’an surah ar-Ra’d ayat 11 yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Ketika kaum Muslimin memaknai ayat tersebut dengan perspektif yang benar maka terbentuklah dalam diri mereka kesadaran yang terpenting, tergenting dan mendesak bagi kaum Muslimin saat ini.

Persoalan ini memang begitu pelik, Namun sejatinya akan selesai secara tuntas ketika Islam dijadikan asas dalam kehidupan. Dalam Islam negara akan mengurusi kebutuhan mereka sehingga terjamin kehidupannya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lainnya. Sehingga bisa menyelesaikan semua problematika umat saat ini.

Namun sistem Islam hari ini belum ada, dan ini merupakan akar dari masalah dan suatu kebutuhan yang terpenting, tergenting dan mendesak. Oleh karenanya kaum Muslimin terlebih para santri seharusnya memperjuangkan sistem kehidupan Islam yang sesuai dengan metode yang pernah diajarkan Rasullullah SAW. (*)

*Penulis Adalah Mahasiswi di Depok