OPINI | POLITIK
“Terdapat banyak pro dan kontra terhadap aksi ini. Pada kubu yang pro, aksi boikot dinilai merupakan perwujudan keberpihakan seseorang terhadap pembelaan rakyat Palestina,”
Oleh : Ade Rahayu Aprilia,
TERHITUNG sejak 7 Oktober 2023 lalu, Zionis Yahudi telah melancarkan gempuran hebatnya ke Jalur Gaza selama tujuh minggu berturut-turut. Jumlah korban jiwa hingga 27 Oktober setidaknya telah mencapai 14.854 orang meninggal dunia.
Mengutip Kementerian Kesehatan Palestina dan juga Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), data tersebut sudah termasuk anak-anak (6.150 jiwa) dan juga wanita (4.000 jiwa). Belum lagi korban luka dan hilang di bawah reruntuhan yang jumlahnya hingga puluhan ribu orang.
Kondisi demikian telah banyak menarik simpati masyarakat dunia, mulai dari belahan timur hingga barat. Beragam aksi menuntut perdamaian pun disuarakan.
Begitu pula dengan variasi solusi yang ditawarkan oleh masyarakat hingga level lembaga tertinggi internasional. Mulai dari two-state solution, gencatan senjata, jeda kemanusiaan, hingga salah satu yang paling heboh beberapa pekan belakangan ini ialah gerakan aksi boikot.
Aksi boikot menyasar pada produk milik perusahaan nasional maupun internasional yang dinilai atau terbukti membantu Zionis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terdapat banyak pro dan kontra terhadap aksi ini. Pada kubu yang pro, aksi boikot dinilai merupakan perwujudan keberpihakan seseorang terhadap pembelaan rakyat Palestina. Terlebih lagi dengan adanya seruan boikot, justru menjadi momentum naiknya nilai jual dan beli produk-produk buatan lokal.
Sementara di kubu kontra, aksi boikot justru akan menyulitkan masyarakat sendiri untuk menyeleksi produk mana yang terafiliasi ataupun tidak terafiliasi dengan Zionis. Belum lagi masalah PHK besar-besaran yang dapat meningkatkan laju pengangguran di negara sendiri, khususnya Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, timbullah pertanyaan skeptis mengenai lantas apakah benar aksi boikot yang dilakukan secara massal oleh masyarakat dunia telah berkorelasi positif dan efektif terhadap berhentinya pembantaian Zionis kepada rakyat Palestina?
Untuk menjawabnya, perlu didudukkan terlebih dahulu soal fakta bahwa aksi boikot yang saat ini dilakukan oleh masyarakat, sifatnya berlaku secara individual atau perseorangan.
Poin inipun diperkuat dengan ketegasan MUI lewat Fatwa No. 83/2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina yang bersifat wajib. Oleh karena itu pada rekomendasi poin ketiga, MUI mengimbau agar umat Islam semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk entitas Yahudi maupun yang terafiliasi dengannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang sudah ada pengaruh berupa turunnya nilai saham beberapa perusahaan besar dari aksi boikot ini. Misalnya saja berdasarkan data dari Daily News Egypt perusahaan seperti PepsiCo (pemegang lisensi merek Pepsi, Chipsy, dan Dunkin’ Donuts) turun pada level terendah sejak November 2021 di angka US$157,9 per saham.
Lalu ada Walt Disney yang turun 0,59% di angka US$81,07 per saham dan Netflix di angka US$346,5 per saham. Lebih jauh lagi ada McDonald’s yang jatuh di level terendahnya bernilai US$245,5 per saham. Adapun Starbucks tidak sebesar penurunan perusahaan-perusahaan lain, yakni menjadi US$91,4 per saham.
Namun hingga saat ini, belum dapat dipastikan apakah dengan menurunnya nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut telah berkorelasi positif terhadap berhentinya pembantaian Zionis.
Kabar terbaru justru mengungkap bahwa aksi penembakan terhadap rakyat Palestina di beberapa titik masih terus dilakukan, meski sedang dalam masa gencatan senjata. Apalagi dengan Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang berpihak pada Zionis. Mereka tetap dengan mudah mengirim bantuan, baik secara dukungan moril, tenaga militer, persenjataan, hingga dana yang tidak main-main jumlahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan solusi yang salah satunya ialah aksi boikot menjadi semu dan kurang efektif menekan penjajahan Zionis. Meski masyarakat sudah sangat antusias menunjukkan keberpihakannya pada Palestina, namun aksi doa, donasi, dan boikot merupakan perwujudan umat secara level individu sipil alias tanpa kekuasaan maupun kekuatan politik negara.
Adapun agar lebih efektif, maka seharusnya negara turun tangan untuk berkomitmen melakukan aksi-aksi boikot secara total terhadap produk-produk pro Zionis. Indonesia dan negara pro Palestina seharusnya benar-benar menutup hubungan dagang dan diplomasi dengan negara-negara pendukung penjajahan apabila memang ingin serius menyelesaikan permasalahan ini.
Hal tersebut disebabkan negara memiliki kekuatan politik yang tidak dimiliki masyarakat sipil. Inilah bentuk boikot yang lebih tepat sasaran dan konkret.
Namun saat ini kita dapati banyak negara yang gelombang masyarakatnya sudah jelas mendukung Palestina, namun pemerintahannya enggan melakukan aksi boikot, meskipun sebetulnya mampu. Bahkan dikutip dari CNN Indonesia (28/11/2023), Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan RI menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melakukan aksi boikot apapun terhadap produk yang dianggap pro Israel. Adapun menurutnya, gerakan boikot yang ada di masyarakat merupakan hak warga.
Islam Solusi Pembebasan Palestina
Sungguh ironis melihat fakta bahwa pemerintah masih sangat mesra melakukan kerjasama bisnis dan politik dengan para kapitalis oligarki yang mendanai Zionis.
Padahal seharusnya negara itu independen dan terlepas dari cengkeraman gurita bisnis pengusaha pro Zionis. Dalam menjalankan bisnisnya, mereka menerapkan ideologi kapitalisme yang sangat menuhankan keuntungan materi. Berbeda apabila negara menerapkan ideologi Islam yang basisnya keimanan kepada Allah SWT. Islam memandang wilayah kaum Muslim wajib dipertahankan.
Islam juga menetapkan kewajiban membela Muslim yang teraniaya apalagi terjajah. Islam tidak melihat asas manfaat apalagi hitung-hitungan untung dan rugi dalam membantu sesama. Dalam Qur’an surah al-Hujurat ayat 10 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara”. Persaudaraannya ini diikat oleh dasar akidah yang sama.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakit).”
Ini merupakan pengejawantahan penerapan ideologi Islam. Pembelaan kita terhadap saudara-saudara yang ada di Palestina dapat dilakukan secara efektif apabila ada negara yang menerapkan prinsip syariat Islam secara kaffah atau biasa disebut dengan Khilafah Al-Islamiyah. Dalam sistem kekhilafahan, maka kita akan dapati pembelaan kaum Muslim terhadap saudaranya yang dizalimi tidak tanggung-tanggung. Tidak hanya doa, donasi, dan boikot yang merupakan level rakyat.
Akan tetapi, negara khilafah juga akan mengirimkan bantuannya berupa tentara militer untuk menundukkan penjajahan. Karena hanya khilafahlah satu-satunya sistem yang menggaungkan jihad fii sabilillah. Dengan demikian, aksi boikot saja tentu tidak cukup. Perlu adanya institusi khilafah yang secara nyata efektif memberi dukungan politik agar kebebasan tanah Palestina segera terwujud. [*]
*Penulis Adalah Alumni Universitas Indonesia