OPINI | POLITIK
“Penyebab dari kerusakan ini karena pemimpin yang salah menerapkan hukum, keserakahan para oligarki yang menyesengsarakan umat manusia sehingga rakyat harus merasakan penderitaan yang semakin buruk,”
Oleh : Puji Sartika
DIKUTIP dari Lappung.Com, Hari Kamis tanggal 16 November 2023 lalu, proyek Citraland City telah resmi di launching dan diarahkan untuk menjadi kota mandiri yang hijau, nyaman, dan modern.
Ciputra Group telah berhasil menjadi raja properti tanah air yang terus memperluas jejak bisnisnya di Sumatera Utara dengan peluncuran mega proyek terbarunya Citralanda City Sampali Kota Deli Megapolitan, yang mana nanti Citraland City Sampali ini diharapkan akan menjadi ikon terbaru di Sumatera Utara (16/11/2023).
Ini membuktikan bahwa Kota Medan khususnya di Jaan Meteorologi Desa Sampali, telah berubah menjadi kawasan elit, rakyat yang memiliki lahan disana, terpaksa menjual tanahnya kepada pemilik modal dan kini sudah diambil alih oleh mereka. Pemilik modal berani membeli tanah masyarakat setempat dengan harga tinggi yang akhirnya rakyat tergiur dan menjual tanahnya.
Tapi kini mereka seakan menelan rasa sakit, karena harus pindah ke daerah yang terpencil. Ternyata Ciputra Group tidak hanya membeli lahan di Sampali saja, bahkan mereka telah memperluas jaringan bisnisnya hingga ke Helvetia, sampai Tanjung Morawa.
Puluhan warga yang tergabung dalam kelompok Tim Kita Bersatu Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk Negara dan Masyarakat (TKB.M.NKRI) kembali menggelar aksi demo damai di kawasan perumahan Citraland Helvetia di Jalan Pertempuran, Desa Helvetia, Deli Serdang, senin sore.
Aksi ini digelar sebagai bentuk protes, dengan memajang spanduk besar yang bertuliskan “Pemerintah segera batalkan proyek Deli Megapolitan yang akan diambil oleh salah satu perusahaan besar seluas 8.077 hektar, karena diduga adanya indikasi permainan mafia tanah dan adanya upaya perampasan hak tanah adat yang dikuasai rakyat dan melanggar PP 24/1997 (waspada.com/17/4/2023).
Malapetaka Perempuan dan Generasi
Sebelumnya pada tahun 2022, terjadi 212 konflik agraria yang mengenai 459 desa. Luas konflik mencapai 1.035.613 hektar dan berdampak pada 346.402 kepala keluarga. Solusi performa agraria dinilai kalangan LSM gagal karena tiada political will untuk memberikan keadilan pada rakyat.
Desain pembangunan ekonomi dan UU cipta kerja masih berpihak pada investasi dan pemilik modal besar untuk menguasai lahan yang luas. Kondisi inilah yang terjadi perampasan ruang hidup rakyat, khususnya para perempuan dan generasi yang banyak terjadi dalam konflik agraria atau perampasan lahan yang telah menjadi persoalan global, ungkap dari pengamat politik Fatma Sunardi.
Beliau mengutarakan, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga, sebagian besar lahan di Indonesia dikelola oleh Korporasi. Dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan untuk rakyat, sedangkan 94,8 juta hektar untuk korporasi.
Para oligarki telah merampas perekonomian ruang hidup rakyat, pasalnya banyak lahan yang telah dialih fungsikan, kebun kebun berubah jadi perusahaan, lingkungan tercemar dari limbah pabrik. Inilah fakta dampak dari demokrasi, tiada penguasa yang bisa terpilih, kecuali didukung oleh pemilik modal atau kapitalis karena biaya pemilihan umum yang sangat besar.
Penyebab dari kerusakan ini karena pemimpin yang salah menerapkan hukum, keserakahan para oligarki yang menyesengsarakan umat manusia sehingga rakyat harus merasakan penderitaan yang semakin buruk, kehidupan rakyat pun kian terpuruk. Mereka harus merasakan ketidakadilan karena adanya pengusiran rakyat secara paksa. Namun sebelumnya bahkan sampai saat ini, perampasan tanah rakyat masih terus berlangsung. Dampaknya hubungan masyarakat dan penguasa dipicu karena adu domba oleh pengusaha atau oligarki, konflik ini terjadi hanya karna sistem sekuler kapitalisme.
Kepentingan pemodal dalam sistem kapitalisme ini sangat dijunjung tinggi dan dijamin oleh undang undang, sedang kepentingan rakyat diabaikan. Tentu sistem ini tidak pantas untuk kita jadikan pedoman, kalau kita terus-menerus berpegang pada sistem undang-undang agraria buatan Belanda ini, hanya akan jadi malapetaka bagi umat manusia khususnya perempuan dan generasi.
Solusi dari Semua Malapetaka
Sebenarnya Islam telah menetapkan hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, seperti yang ada didalam hadis Rasullullah SAW.,
”Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”
Pemahaman riayah inilah yang seharusnya rakyat ketahui apa hak rakyat kepada penguasa, dan penguasa juga harus paham apa kewajibannya kepada rakyat. Saatnya kita harus mulai bertindak, dengan berdakwah untuk memahamkan kepada mereka. Jika tidak dilakukan kemungkinan akan lebih banyak lagi perkara yang akan terjadi.
Dalam hal ini kita bisa bandingkan pada masa Khalifah Umar Bin Khattab sebagai bentuk riayah Daulah Islam yang dalam pidato beliau.
“Pertama, untuk menaati aku (baca khalifah Umar) selama aku berpegang pada Kitabullah dan Sunah RasulNya dalam mengurus urusan umat. Maknanya jika tiada berpegang pada syariah Islam, maka tiada kewajiban untuk taat kepada khalifahnya/pemimpin.
Kedua, rakyat dapat menuntut hak-haknya yang menjadi kewajiban khalifah atau pemimpin, terdiri dari menguatkan azzam penguasa untuk berkomitmen dengan ucapannya, makin memperkuat kepercayaan rakyat kepada penguasanya, dan rakyat pun tidak diam atau melakukan muhasabah kepada penguasanya.”
Tentu kita sangat membutuhkan sistem yang bisa menyelamatkan rakyat khususnya perempuan dan generasi.Sistem ini adalah sistem Islam yang akan menjadi perisai dan penolong bagi rakyat karena sudah terbukti peradabannya mampu menyejahterakan rakyat.
Satu-satunya solusi untuk menangani konflik undang-undang agraria buatan Belanda hanyalah dengan kembali pada penerapan sistem Islam Kaffah. Karena hanya sistem ini yang mampu memutuskan mata rantai dari konflik undang-undang agraria. (*)