OPINI | POLITIK
“Keterlibatan dalam korporasi politik menyebabkan keberpihakan penguasa pada korporasi bukan rakyat. Oleh karena itu, akar permasalahannya terletak pada sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang membebaskan kepemilikan lahan,”
Oleh : Fadia Nur Baiti
KURANGNYA pemahaman terhadap konsep negara hukum dan sejarah sengketa agraria yang didasari oleh kesalahpahaman mengenai Hak Menguasai Negara menutupi fakta adanya masyarakat yang mengelola tanah jauh sebelum terbentuknya badan hukum negara yang mengambil alih tanah tersebut.
Banyak dampak sosial dari konflik agraria yang tidak dapat diatasi secara ekonomi atau digantikan dengan pemukiman kembali. Menyederhanakan perspektif ini justru menciptakan konflik yang berkelanjutan. Sebagian masyarakat Indonesia memiliki ikatan emosional dan bahkan spiritual dengan tanahnya yang lebih dari sekadar ikatan ekonomi atau tempat tinggal.
Dari tahun 2015, terdapat 126 juta lahan di penjuru negeri yang memerlukan sertifikasi. Namun mengingat Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya menerbitkan 500 sertifikat tanah per tahun, maka pada Desember 2023 hanya tersedia 46 juta sertifikat tanah. Artinya, masih ada 80 juta lahan yang belum tersertifikasi. Oleh karena itu, di negara kita banyak terjadi perselisihan karena tanahnya tidak bersertifikat.
Persoalan utama sengketa agraria bukan berkaitan dengan sertifikasi tanah, namun berkaitan dengan penyelesaian sengketa agraria yang ada dan terdapat ketimpangan kekuasaan yang belum terselesaikan.
Meskipun negara datang untuk mensertifikasi, hal ini bukan dalam konteks negara menyelesaikan sengketa pertanahan antara masyarakat lokal dan perusahaan yang menyerbu dan merampas tanah adat.
Negara harus berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa agraria secara langsung, karena menciptakan masalah dengan memberikan konsesi sesuka hati.
Negara yang berasaskan tata kelola ekonomi kapitalisme-neolib menjadika peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator. Keterlibatan dalam korporasi politik menyebabkan keberpihakan penguasa pada korporasi bukan rakyat. Oleh karena itu, akar permasalahannya terletak pada sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang membebaskan kepemilikan lahan. Sehingga butuh perubahan mendasar pada konsep tata kelola lahan yang merupakan bagian dari sistem politik dan ekonomi negara.
Satu-satunya konsep yang layak hanyalah syariat Islam yang dijalankan sistem politik Khilafah sebab kesahihannya dijamin Allah SWT. Dan bukti keberhasilannya sudah ditunjukkan oleh Rasulullah dan para khalifah. Politik Islam mempunyai konsep kepemilikan, mana lahan yang boleh dimiliki individu dan mana yang tidak, serta mana yang boleh dimilki negara dan mana yang dimilki oleh umum.
Dalam Islam, ada dua konsep penting untuk mengakhiri sengketa pertanahan, yaitu pemulihan kepemilikan tanah seperti yang ditentukan oleh Allah dan pelaksanaan fungsi negara yang baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam perspektif Islam, ada tiga status kepemilikan tanah: tanah pribadi, tanah umum, dan tanah negara.
Berdasarkan pembagian ini, perorangan tidak diperbolehkan memiliki tanah publik, meskipun negara memberi mereka konsesi. Jika menelantarkan lahan hingga tiga tahun, kepemilikan atas lahan tersebut berakhir. Begitupun ketika lahan tampaknya bukan milik siapa pun, maka lahan tersebut boleh pula jadi milik siapapun, selama lahan tersebut dikelolanya.
Islam juga memberikan kepada para penguasa visi untuk melayani rakyat dan melindungi hak-hak mereka atas properti, termasuk tanah. Penguasa Islam menjamin hak milik individu, memastikan kepemilikan tanah sesuai dengan hukum syariah, dan seluruh hak warganya terpenuhi tanpa kecuali.
Sistem Islam benar-benar menjamin kesejahteraan umat. Namun semua itu dapat terwujud melalui penerapan sistem ekonomi Islam melalui Khilafah Islam. [*]
*Penulis Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta