Pemilu di Sistem Demokrasi hanya Ajang Berebut Kekuasaan

0
30
Hana Sheila/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Aliran dana pemilu dari berbagai pihak terutama asing menunjukkan kontestasi pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan,”

Oleh : Hana Sheila,

PEMILU atau ajang pesta demokrasi yang rencananya akan diselenggarakan 14 Februari mendatang ternyata dilaporkan telah terjadi dugaan keterlibatan aliran dana besar. Sebagaimana yang diberitakan news.detik.com (10/01/2024), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 Miliar dari luar negeri ke 21 bendahara partai politik sepanjang 2022 sampai 2023.

Selain itu PPATK juga menerima laporan dari Internasional Fund Transfer Intruction (IFTI) yang menyebutkan bahwa di antara penerima aliran dana asing terdapat 100 orang Daftar Calon Tetap (DCT) pemilu.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya oleh PPATK adanya tren pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung tercatat ada pembukaan 704 juta rekening baru.

Ketua PPATK, Ivan yustiavandana dalam konferensi PPATK, Kamis (11/1/2024), mengatakan acuan pembukaan rekening terlihat dari Customer Identification Form (CIF), dia menduga pembukaan rekening ini berkaitan dengan adanya kontestasi politik.

Dari fakta tersebut, aliran dana pemilu dari berbagai pihak terutama asing menunjukkan kontestasi pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan.

Umat harus waspada terkait bahaya di balik pendanaan tersebut yaitu tergadaikan kedaulatan negara, sehingga pemimpin yang terpilih tidak mengurusi urusan rakyat melainkan memuluskan agenda pihak-pihak yang telah memberi pendanaan.

Namun sejatinya kondisi tersebut sudah nyata terjadi. Umat bisa melihat arah pembangunan penguasa yang memperbesar investasi asing seperti proyek kereta cepat atau Rempang Eco City dan proyek infrastruktur lainya. UU Minerba semakin liberal yang membuat para korporat swasta semakin beringas mengeruk kekayaan negeri, semua menjadi suatu keniscayaan karena politik demokrasi memiliki biaya yang tinggi.

Legalisasi kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas, karena itu diperlukan dana besar untuk memperoleh suara yang banyak. Dan di sinilah peran para pemilik modal berpartisipasi dalam pemilu dan tentu setelah mengucurkan dana mereka ingin mendapatkan bagiannya.

Akibatnya parpol di sistem demokrasi kehilangan idealismenya bahkan rawan dibajak oleh pemilik modal, sehingga siapa pun yang terpilih, oligarki pemenangnya. Yang pasti, pemilu di sistem demokrasi hanya ajang berebut kekuasaan.

Berbeda dengan pemilu di sistem Islam. Pemilu dalam sistem Islam hanya dijadikan uslub (cara) bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara yakni baiat syar’i. Dengan tegas, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa mengangkat Imam, Khalifah, dan Amir al-Mukminin adalah wajib.

“Tentang Kewajiban Imamah (Khilafah) dan Penjelasan Tentang Metode (Pengangkatannya): Umat wajib mempunyai Imam (Khalifah) yang menegakkan agama (Islam), menolong Sunah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan meletakkannya pada posisinya. Saya tegaskan: pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardu kifayah. Jika tidak ada yang layak, kecuali hanya seorang, maka hukumnya fardu ain bagi dia. Dia wajib menuntutnya (jabatan Imamah/Khilafah) jika mereka (umat) tidak memulainya.”

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan ketika Khalifah Umar bin Khattab menderita sakit karena penusukan. Kaum Muslimin meminta Umar untuk menunjuk siapa yang menjadi penggantinya namun beliau menolak tapi kaum Muslimin mendesak, akhirnya beliau menunjuk enam orang sebagai penggantinya. Dan memerintahkan umat Muslim untuk memilih salah seorang mereka menjadi Khalifah maksimal tiga hari setelah beliau wafat.

Setelah Khalifah Umar wafat para calon yang ditujuk sebelumnya melakukan pemilihan terhadap salah seorang di antara mereka, dan inilah terjadi proses pemilu. Saat itu terpilihlah nama Ali dan Utsman sebagai suara terbanyak. Lalu Abdurahman bin Auf menanyakan kepada kaum Muslimin untuk melakukan pemilihan dan di malam hari itu juga akhirnya terpilih Utsman bin Affan sebagai Khalifah. Lalu umat melakukan baiat in’iqod kepada Khalifah dan melakukan baiat ta’at secara umum. Atas dasar baiat inilah Utsman menjadi Khalifah bukan ketika penujukan enam orang oleh Umar bin Khattab.

Dalam sistem Islam, kepala negara dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia tapi untuk menjalankan hukum Allah SWT. Kewajiban seorang penguasa adalah menerapkan syariat Islam (Tercantum dalam QS al-Maidah ayat 48-49), penguasa juga haram hukum menerapkan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam seperti sistem demokrasi saat ini (Tercantum dalam QS al-Maidah ayat 44, 45, dan 47).

Oleh karenanya dalam sistem Khilafah, pemilu hanya cara memilih pemimpin untuk menjalankan syariat Islam dan proses pemilihannya berjalan sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Karena pemilu dalam sistem Islam bukan ajang berebut kekuasaan. [*]

*Penulis Adalah Mahasiswi di Depok