OPINI | POLITIK
“Kemudahan ini tertuang dalam Visi Indonesia Emas RPJMN 2020-2024 dimana pemerintah mendorong investasi seluas-luasnya untuk mendukung pembangunan, membuka lapangan pekerjaan, memangkas perizinan, pungli,”
Oleh : Zhuhriana Putri
KONFLIK lahan memang masih masif terjadi. Berbagai proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah hingga pihak swasta telah memaksa rakyat mengosongkan lahan yang menjadi ruang hidup mereka.
Tidak hanya itu, privatisasi lahan kepemilikan umum seperti hutan, gunung, laut, dan danau, sungai bahkan udara untuk dijadikan bisnis semakin merampas sumber penghidupan masyarakat.
Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) mencatat selama pemerintahan jokowi terjadi 2.710 konflik agraria. Hal ini telah berdampak pada 5,8 juta hektar tanah yang menjadi sumber penghidupan sekitar 1,7 juta keluarga di negeri ini.
Konflik agraria adalah salah satu persoalan besar pemerintah untuk dituntaskan. Konflik ini telah mengakar selama puluhan tahun. Konflik lahan ini telah merampas ruang hidup jutaan masyarakat.
Konflik agraria ini terus terjadi di berbagai sektor mulai dari perkebunan yang didominasi oleh sawit, infrastruktur, Proyek Strategi Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sektor pertambangan, dan konflik di sektor properti, kota mandiri, dan area komersil di perkotaan.
Perampasan ruang hidup yang diakibatkan dari konflik agraria yang berkepanjangan ini telah menimbulkan konflik sosial yang diikuti dengan intimidasi kekerasan dan kriminalisasi. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Akhirnya tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran penggunaan lahan oleh sebagian besar pemilik modal atas legalisasi penguasa.
Tidak hanya itu, konflik lahan juga berakibat pada relokasi besar-besaran dan penggusuran rumah dan tempat hidup masyarakat. Dampaknya rakyat kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan, komunitas, bahkan berdampak pada kelangsungan pendidikan pada anak-anak sekolah. Dampak lain yang diakibatkan oleh konflik lahan ini adalah bencana alam yang menimpa masyarakat, termasuk perempuan dan generasi. Banjir, tanah longsor, polusi udara, limbah B3 dan kekeringan tidak terhindarkan lagi akibat terganggunya keseimbangan ekosistem.
Pembukaan lahan dengan metode pembakaran hutan untuk mengelola hutan juga menyebabkan masyarakat terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan paru lainnya termasuk pneumonia. Tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban dan mengalami luka-luka, terserang penyakit hingga kehilangan nyawa setiap tahunnya akibat persoalan lahan ini.
Banyak kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian tetapnya hingga berganti mata pencaharian. Sungguh konflik lahan telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat berupa hutan, laut, sungai, cadangan air bersih, udara bersih dan lingkungan hidup yang sehat dan tidak tercemar.
Konflik agraria telah melibatkan petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat pedesaan, dan masyarakat miskin perkotaan dimana mereka berhadap-hadapan langsung dengan kelompok bisnis dan negara. Para korporasi berusaha merampas tanah, air, hutan atau sumber daya publik lainnya untuk diprivatisasi dan dijadikan kepemilikan korporasi baik dibeli ataupun disewa.
Atas nama investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan nasional, penyerahan pengelolaan lahan kepada korporasi dipermudah oleh pemerintah melalui berbagai regulasi. Kemudahan ini tertuang dalam Visi Indonesia Emas RPJMN 2020-2024 dimana pemerintah mendorong investasi seluas-luasnya untuk mendukung pembangunan, membuka lapangan pekerjaan, memangkas perizinan, pungli, dan hambatan investasi lainnya.
Inilah konsekuensi penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang memberikan kebebasan pemanfaatan dan pengembangan apapun termasuk lahan.
Pengambilalihan lahan dan sumber daya oleh korporasi yang didukung oleh aturan dan undang-undang yang diberlakukan pemerintah sejatinya menunjukkan berjalannya politik oligarki di Indonesia. Dimana kekuasaan negara digunakan untuk kepentingan akumulasi kekayaan para pemilik modal.
Melalui politik oligarki perampasan lahan warga oleh pihak korporasi mendapatkan jaminan hukum, peraturan, bahkan dorongan komunitas internasional. Politik oligarki adalah buah penerapan sistem kapitalisme yang telah dijalankan di Indonesia.
Permasalahan ini tentu membutuhkan penyelesaian hingga tuntas. Sebagai sebuah ideologi yang shohih, Islam memiliki penyelesaian terhadap segala persoalan kehidupan termasuk persoalan perampasan lahan.
Sistem Islam yang diterapkan dalam institusi bernama Khilafah. Bahkan solusi islam ini mengantarkan pada kesejahteraan dan keadilan bagi setiap warga negara.
Negara Islam menjadikan hukum islam yang bersumber Al-quran dan As-sunnah sebagai landasan dalam mengatur negara. Landasan inilah yang mewajibkan seorang pemimpim negara atau Khalifah menjadi pengurus dan pelindung bagi rakyat. Rasulullah saw bersabda “imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” H.R. Muslim. “sesungguhnya al-imam (khalifah) adalah perisai dimana orang-orang akan mendukungnya dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannya.” H.R. Muttafaqun Alaih.
Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi islam yang memiliki asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan. Dalam hal kepemilikan islam mengatur 3 kepemilikan yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Tanah atau lahan dikategorikan berdasarkan kandungan di dalamnya.
Jika tanah mengandung kekayaan alam seperti hutan, tambang, dan sumber daya yang melimpah lainnya maka tanah tersebut milik umum yang haram diserahkan kepada individu maupun swasta. Tanah milik umum wajib dilindungi negara dan tidak boleh dirampas oleh siapa pun. Hanya melalui penerapan aturan Islam Kaffah rakyat bisa hidup sejahtera. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Mahasiswa