OPINI | POLITIK
“Padahal bisa saja memilih pada ancaman boikot dari rakyat jika tindakan adil tidak dilakukan oleh KPU dan lebih kompleks penyelenggara negara,”
Oleh : Agusto Sulistio
SEBELUMNYA penulis telah sampaikan opini terkait tuduhan kecurangan sering kali mewarnai jalannya pemilihan umum (pilpres), terutama terhadap kandidat yang memiliki suara terbanyak.
Pelaksanaan pilpres 2024 yang telah berlangsung pada Rabu 14 Februari 2024 telah berlalu dengan aman dan damai secara nasional.
Paradoxnya, beberapa kandidat sejak awal jelang pelaksanaan pilpres 2024 khususnya, pasangan nomer 1, Anies Baswedan – Cak Imin, dan nomer 3, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, telah menyampaikan kecurigaan terhadap pelaksanaan pilpres akan berlangsung tidak fair. Tetapi ironis, mereka tetap ikut serta, bahkan yakin akan meraih kemenangan mutlak. Padahal sebelumnya mereka dan koalisi partai pendukunyan menyebut sebagai pilpres 2024 yang penuh kecurangan.
Namun, hasil setelah pelaksanaan pilpres menunjukkan bahwa kandidat-kandidat yang awalnya meragukan keberlanjutan pilpres tersebut justru kalah dalam perolehan suara menurut hasil hitung cepat banyak lembaga survei (proses hitung menyisakan sekitar 40% lagi).
Keseriusan Kandidat Melawan Curang Sebelum Pilpres
Keikutsertaan kandidat dalam pilpres yang dianggap curang meninggalkan banyak pertanyaan di kalangan publik. Di satu sisi, para kandidat telah mengetahui adanya potensi kecurangan, namun kandidat bersama partai pendukung tidak mengajak konstituennya untuk mengkritik penyelenggara negara dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar bersikap adil dan jujur secara tegas dan konsisten, sebelum pilpres 2024, 14 Februari 2024 dilaksanakan. Padahal bisa saja memilih pada ancaman boikot dari rakyat jika tindakan adil tidak dilakukan oleh KPU dan lebih kompleks penyelenggara negara. Namun protes akan tidak efektif jika dilakukan setelah usah pencoblosan, artinya proses hukum, politik, dll akan menjadi persoalan yang akan mengganjal.
Boikot terhadap pilpres yang terindikasi curang pernah terjadi dibeberapa negara, salah satunya pada pemilihan presiden tahun 2018, beberapa partai oposisi di Venezuela memutuskan untuk memboikot pemilu yang dianggap tidak adil dan tidak transparan. Ini disebabkan oposisi menyatakan bahwa proses pemilu tidak memberikan jaminan keadilan dan keterbukaan.
Perspektif Islam dalam Al-Quran
Penulis menggali lebih dalam kaitan antara politik curang dalam pilpres dan agama, dari berbagai sumber.
Dari perspektif Islam, Al-Quran memberikan pedoman dan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinan. Ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang dapat menggambarkan kondisi ini.
Al-Quran menekankan pentingnya keadilan dalam kepemimpinan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri, atau orang tua dan keluargamu, baik kaya maupun miskin. Maka Allah lebih tahu kepada keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena hendaklah kamu adil. Dan jika kamu memutar balikkan atau tidak berlaku adil, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa: 135)
Menolak Kecurangan
Al-Quran mengecam setiap bentuk kecurangan dan mengajak untuk menolaknya: “Dan janganlah kamu condongkan kepadanya karena kebencianmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena berlaku adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Q.S. Al-Ma’idah: 8)
Tanggung Jawab Pemimpin
Pemimpin yang mengetahui (Kandidat Capres-Cawapres, Petinggi Koalisi Parpol Pendukung) kecurangan namun tetap melibatkan diri di dalamnya dapat berdosa: “Dan janganlah seorang mukmin membunuh mukmin yang lain, karena kesalahan (yang dilakukan oleh yang terbunuh) itu, dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka pembalasan baginya ialah Jahannam, kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuk serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. An-Nisa: 93).
Dalam konteks ini, Al-Quran menuntut pemimpin untuk menjalankan keadilan, menolak kecurangan, dan bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. Ketidakadilan dan kecurangan dalam proses pemilihan kepemimpinan, terutama jika pemimpin mengetahui adanya potensi kecurangan, dapat membawa dampak negatif dan dosa pada pemimpin tersebut.
Maka, kandidat dan pemimpin dalam demokrasi harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip keadilan, jujur, dan menjauhi segala bentuk kecurangan, sesuai dengan ajaran Al-Quran. Sebuah kepemimpinan yang adil dan jujur adalah landasan yang kokoh bagi integritas demokrasi dan kemajuan masyarakat. Salemba Jakarta Pusat, Sabtu 17/2/2024, 19.54 Wib. (*)
*Penulis Adalah mantan Ketua Aksi dan Advokasi PIJAR Semarang, Pendiri The Activist Cyber