OPINI | POLITIK
“Terjadinya kecurangan atau permainan kotor tersebut karena sistem yang menaunginya juga merupakan sistem yang ‘kotor’. Sistem tersebut yakni sistem demokrasi. Sistem demokrasi merupakan turunan dari sistem kapitalis sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan, dan dari politik,”
Oleh : Fatiyah Danaa. H,
SEBUAH film dokumenter yang dirilis pada masa tenang Pemilu 2024, lebih tepatnya 11 Februari 2024 lalu yaitu 3 hari sebelum pesta demokrasi diselenggarakan, menghebohkan seluruh publik Indonesia.
Film dengan berjudul Dirty Vote, yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono ini mengupas tentang bagaimana kondisi pemilu yang sangat tidak baik-baik saja karena dihiasi sejumlah fakta yang membuat publik terkaget-kaget, yakni ketika seseorang memiliki kekuasaan akan melakukan apa pun demi mempertahankan kekuasaan tersebut.
Fakta-fakta tersebut diungkap oleh 3 pakar hukum tata negara yang sekaligus kontributor narasumber film Dirty Vote, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari.
Bagi kaum awam, film ini terlihat seperti kampanye paslon nomor tertentu dengan himbauan tersirat untuk tidak memilih paslon yang diduga telah melakukan sejumlah kecurangan sebelum dan selama kampanye. Sangat disayangkan karena ada yang lebih mendalam dan mengakar yang dapat diambil dari film kontroversial itu, yakni terdapat sebuah entitas yang dapat membahayakan dan memberikankan ancaman kepada Indonesia.
Hal tersebut dilakukan bukan pada Pemilu 2024 saja tetapi sudah dipraktikkan sejak pemilu-pemilu yang lalu. Bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi di berbagai belahan dunia yang lain. Sebuah praktik yang sangat kotor tapi abadi seperti tradisi turun-temurun.
Hal ini malah yang terlewat oleh kebanyakan orang, bukti nyata bahwa saat ini kita sedang dikuasai para kapitalis. Para kapitalis yang bersembunyi di belakang topeng demokrasi ini dengan mudahnya membuka jalan demi kelancaran urusannya dan rakyat hanya bisa menjerit karenanya.
Dan inilah yang terjadi pada pemilu lalu, sebuah kecurangan yang terstruktur dan publik hanya bisa menyaksikan adegan itu berlangsung. Terjadinya kecurangan atau permainan kotor tersebut karena sistem yang menaunginya juga merupakan sistem yang ‘kotor’. Sistem tersebut yakni sistem demokrasi. Sistem demokrasi merupakan turunan dari sistem kapitalis sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan, dan dari politik.
Jadi jangan heran jika banyak terjadi kecurangan hingga korupsi di kalangan pemegang kekuasaan, karena landasan mereka berkuasa bukan karena Allah SWT, bukan ingin melindungi (junnah) ataupun memelihara (ri’ayah) rakyatnya.
Dalam film tersebut, Bivitri Susanti menyampaikan sebuah closing statement menarik yang berbunyi: “Tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario semacam ini sudah dilakukan rezim-rezim sebelumnya di banyak negara, sepanjang sejarah. Karena itu untuk menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, mental culas, dan tahan malu.”
Jika dilihat, memang kecurangan tersebut seperti tradisi turun-temurun, sebuah skenario yang terjadi berulang-ulang, hanya berganti pelaku saja. Bukan hanya dirty vote yang harus menjadi fokus utama permasalahan, tetapi bagaimana sebuah sistem, dirty system yang membiarkan proses busuk ini berlangsung secara terang-terangan. Dengan mudahnya memanuver hukum menyesuaikan kebutuhan urusannya masing-masing.
Maka, akar permasalahan tentu berada pada dirty system yang menganut ideologi selain Islam, yaitu kapitalis sekuler. Pasalnya, Islam bukanlah sekadar agama yang mengatur ibadah ritual saja, melainkan seluruh aspek dalam kehidupan dan dalam berkenegaraan. Karena yang berhak mengatur manusia adalah Sang Pencipta, Al-Khaliq. [**]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah