OPINI
“Bagi mereka pinjol itu satu-satunya cara untuk mencairkan dana dengan cepat, apalagi syaratnya pun juga mudah. Sampai mereka tidak sadar telah terjebak dalam transaksi riba dengan konsekuensi bunga yang besar,”
Oleh : Bella Lutfiyya,
SELAMA puasa, masyarakat banyak melakukan transaksi pembelian untuk memenuhi kebutuhan, untuk bulan Ramadhan hingga lebaran. Kebutuhan tersebut di antaranya berupa pangan untuk berbuka puasa atau sahur, hampir lebaran, dan tiket transportasi mudik.
Namun yang disayangkan tingginya kebutuhan tidak sebanding dengan tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat, khususnya yang terkategori kelas menengah hingga kelas menengah ke bawah.
Hal ini yang menjadikan masyarakat tergiur melakukan transaksi pinjaman online. Bagi mereka pinjol itu satu-satunya cara untuk mencairkan dana dengan cepat, apalagi syaratnya pun juga mudah. Sampai mereka tidak sadar telah terjebak dalam transaksi riba dengan konsekuensi bunga yang besar.
Oleh karenanya, atoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pertumbuhan utang pada perusahaan P2P lending atau pinjaman online (pinjol) akan meningkat pada saat Ramadhan sampai Lebaran 2024. Hal ini diproyeksi lantaran adanya demand atau permintaan terhadap kebutuhan masyarakat yang juga naik saat bulan suci (tirto.id, 2024).
Anehnya hari ini, pelaku UMKM pun juga ikut terjerat pinjol. Alasannya, para pemilik Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) membutuhkan modal lebih untuk melangsungkan usahanya selama Ramadhan, tujuannya untuk meningkatkan produksi akibat permintaan masyarakat makin meningkat.
Tingginya permintaan membuat mereka memilih jalan pintas dengan melakukan pinjol. Pinjol menjadi pilihan karena prosedur yang lebih mudah dibandingkan perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Selain kebutuhan rumah tangga dan juga UMKM, merebaknya pinjol saat Ramadahan ini karena disokong oleh dunia digital yang memberi iming-iming agar masyarakat menjadi pribadi yang konsumtif.
Maka tidak heran jika iklan-iklan pinjol tetap lalu lalang di dunia maya untuk menarik minat masyarakat hingga mereka terjerat. Sungguh kondisi ini sangat memprihatinkan. Bulan Ramadhan yang seharusnya fokus untuk meraih ketaatan, namun beralih fokus memikirkan pinjaman.
Hal ini menambah deretan fakta bahwa negara telah abai dalam mengurusi rakyatnya. Seharusnya peran negara itu memfasilitasi dan membantu pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Alih-alih negara mau mengurusi, yang terjadi justru negara menawarkan pinjol sebagai solusi cepat untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Tentu solusi yang ditawarkan negara hari ini bukanlah solusi yang tepat. Ini menjadi bukti kegagalan negara dalam mengurusi kebutuhan rakyat dan berlepas tangannya negara dalam mengedukasi rakyatnya. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Dalam Islam, negara berperan sebagai raa’in, dan salah satu kewajibannya memastikan kebutuhan hidup rakyatnya tercukupi, pun menyediakan dana untuk pelaku usaha/UMKM. Negara berperan dalam mengembangkan usaha rakyat, sebagai salah satu sumber mata pencaharian rakyat.
Usaha rakyat atau perdagangan ini menjadi salah satu sumber ekonomi utama dalam Islam, sehingga negara tidak akan membuka sektor ekonomi non riil seperti perusahaan fintech dan bank ribawi. Karena konsep ribawi akan membuat aliran uang macet dan menumpuk di pemilik modal.
Islam memiliki sistem ekonomi Islam yang menjamin kemudahan menjalankan usaha termasuk dalam penyediaan dana. Tentu saja tanpa adanya riba, karena Islam mengharamkan riba. Islam tidak akan membiarkan adanya suasana bisnis yang melenceng dari syariat.
Permodalan UMKM diambil dari kas negara yakni baitul maal. Permodalan untuk usaha akan dialokasikan oleh baitul maal dari pos kepemilikan negara atau umum langsung tanpa riba yang diberikan secara cuma-cuma dan atau diberikan seperlunya hingga kurang lebih setahun dan akan dilakukan pengawasan serta kontrol agar tidak disalahgunakan.
Demikianlah gambaran Islam yang memberikan solusi atas permasalahan pinjol dengan sistem riba. Islam membawa aturan hidup yang sempurna dan mudah diamalkan. Dalam hal transaksi riba ini, syariat Islam memberikan pelarangan yang tegas terhadap tiap-tiap individu Muslim.
Selain itu, pelarangan riba juga membutuhkan peran masyarakat dan negara untuk menutup kran riba. Kran riba hari ini semakin deras, karena dibuka lebar oleh sistem kapitalis. Sebab, riba merupakan jantungnya sistem ekonomi kapitalis. Alhasil, hanya syariat Islam yang mampu memutus rantai riba dengan penerapan syariat secara kaffah dalam institusi negara. [**]
*Penulis Adalah Alumnus FE Gunadarma