HUKUM
“Dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime, menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi (badan hukum) dan konglomerasi (gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan),”
Jakarta | Lapan6Online : Kabinet Indonesia Maju di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tinggal menghitung hari. Akan segera berakhir, termasuk di dalamnya berakhir pula masa kepemimpinan Jaksa Agung Burhanuddin.
Terkait hal itu, pemberantasan korupsi di era Jaksa Agung Burhanuddin layak diapresiasi dan mendapat acungan jempol.
Bagaimana tidak, selama kepemimpinannya, selalu menitikberatkan pada penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi yang berkualitas, yakni mengakibatkan kerugian besar, berdampak negatif bagi masyarakat, dan pelakunya adalah orang-orang berpengaruh serta status ketokohan, sehingga menjadi tidak tersentuh dengan hukum.
Sepanjang kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, beberapa perkara mega korupsi telah berhasil ditangani seperti Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru adalah PT Timah yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah.
Adapun status perkara-perkara tersebut diantaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya.
Atas dasar hal tersebut, Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum yang selangkah lebih maju dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, yakni dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.
Hal itu semua diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah.
Sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss).
Hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan, namun Jaksa Agung menegaskan bahwa perhitungan kerugian Negara dengan perekonomian Negara adalah dua hal yang berbeda.
Dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime, menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi (badan hukum) dan konglomerasi (gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan), sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan.
Dengan demikian, perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, antara lain ;
• memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan Negara,
• penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya.
Di sisi lain, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal.
Selain itu, kerugian juga memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.
Selanjutnya, kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan.Hal itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala.
Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya.
Maka dari itu, dalam setiap kesempatan, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian Negara dan perekonomian Negara seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
Dalam hal pencegahannya, maka perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum.
Oleh karenanya, dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan Negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary.
Lebih lanjut, Burhanuddin menekankan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar Negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan Negara secara masif.
Sebab, sudah banyak Negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara. “Meski demikian, kita tidak boleh kalah dengan koruptor. Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama (public enemy),” katanya. (*Kop/Syamsuri/MasTe/Lpn6)