OPINI
“Ketika suatu produk dianggap menguntungkan, maka stabilitas produksi harus tetap terjaga tanpa memperhatikan dampak yang dihasilkan. Jumlah pekerja menjadi salah satu penentu dari biaya produksi,”
Oleh : Maulida Putri Awaliyah
PERAYAAN Hari Raya Idul Fitri menjadi momen yang ditunggu-tunggu karena memiliki berbagai keutamaan dan cara yang berbeda pada setiap orang dalam merayakannya.
Kebahagiaan yang serupa juga dirasakan oleh para pekerja karena mereka berhak untuk memperoleh Tunjangan Hari Raya (THR) yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenagakerjaan (Menaker) No. M/2/HK.04.00/III/2023.
Namun kenyataannya, limpahan THR tidak dapat dirasakan oleh semua pekerja. Bahkan di balik momen pemberian THR justru malah menyimpan banyak kisah pelik yang dialami oleh beberapa pekerja di ranah industri.
Semakin mendekati perayaan Idul Fitri 2024, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada pabrik tekstil secara massal dilaporkan kian meningkat. Hal ini didesain sedemikian rupa oleh perusahaan agar terhindar dari kewajiban pembayaran THR bagi pekerja yang sudah terkena PHK.
Menjelang Hari Raya, kok malah banyak yang kena PHK? Tindakan PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya dilatarbelakangi oleh perusahaan nakal saja, tetapi karena cashflow perusahaan tekstil semakin tergerus akibat serbuan produk impor yang masuk ke dalam pasar domestik.
Keterbukaan perdagangan internasional dalam sistem ekonomi kapitalisme dapat mengakibatkan ketergantungan berlebih pada impor yang berimbas pada penurunan produksi dalam negeri. Tidak hanya itu, dilansir dari CNBC, kondisi geopolitik dunia juga ikut mempengaruhi arus ekspor.
Ketegangan dan pembatasan-pembatasan geopolitik antar negara juga ikut berpengaruh dalam arus perdagangan internasional. Penyebab lain adanya perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama pasar ekspor Indonesia, yaitu Eropa dan AS. Dampak lanjutan dari perlambatan ekspor global di pasar utama akan menurunkan kinerja industri dalam negeri hingga terjadi penumpukaan stok yang berujung pada PHK.
Menghadapi fenomena ini, pemerintah cenderung lamban dalam menanggulanginya. Hal ini terlihat dari ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi arus impor dan ekspor. Pada kenyataannya, tidak sedikit perusahaan ekspor merupakan milik asing dan salah satu dampaknya jika kontrak dengan Indonesia sudah habis, akan menyebabkan pegawai lokal yang bekerja terkena PHK.
Kondisi di atas merupakan keniscayaan yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis. Ketika Indonesia terikat dengan sejumlah perjanjian perdagangan global yang ada, maka Indonesia juga harus terikat dengan sistem yang berjalan beserta konsekuensi yang akan diperoleh.
Ini semua tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang selalu berfokus dalam aktivitas produksi. Ketika suatu produk dianggap menguntungkan, maka stabilitas produksi harus tetap terjaga tanpa memperhatikan dampak yang dihasilkan. Jumlah pekerja menjadi salah satu penentu dari biaya produksi.
Sehingga, ketika perusahaan ingin memangkas biaya produksi, tidak jarang PHK menjadi keputusan pamungkas yang diambil oleh perusahaan.
Kapitalisme membuat negara seakan-akan sebatas pembuat regulator yang berpihak pada oligarki. Padahal, peran negara dalam Islam lebih dari itu. Islam menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyat.
Dalam Islam, kebijakan negara akan senantiasa berpihak pada kepentingan umat, termasuk dalam melindungi pelaku usaha, baik melalui jaminan keamanan berusaha maupun kemudahan modal serta regulasi lainnya.
Di sisi lain, negara dalam sistem Islam juga meniscayakan adanya jaminan kesejahteraan melalui berbagai mekanisme, sehingga rakyat akan tetap terjamin hidupnya. [**]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia