OPINI | POLITIK
“Pada hakikatnya politik bukanlah hal kotor dan mendambakan pemimpin ideal bukanlah hal payah dengan syarat sistem politik yang dijalankan harus politik islam,”
Oleh : Sutiani, A. Md
MAHKAMAH Agung (MA) mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait dengan batas usia kepala daerah, baik calon gubernur dan wakil gubernur. Kini, tak harus berusia 30 tahun untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusan MA, mereka yang baru berusia 30 tahun pada saat pelantikan dilakukan, bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusan tersebut, MA menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Atas adanya putusan tersebut, aturan KPU diubah.
Sebelumnya, bunyi pasal 4 ayat (1) huruf d: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.
Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur. Lalu berusia 25 tahun untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya.
Namun aturan tersebut diubah oleh MA menjadi:
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih. (Kumparan.com, 30/05/2024)
Sungguh mengejutkan baru-baru UU mengalami perubahan hanya untuk kepentingan sekelompok orang namun hal tersebut dianggap biasa dalam hukum demokrasi karena kedaulatan berada di tangan manusia. Hukum inilah mencampakkan Allah sebagai Maha Pengatur hukum hingga akhirnya menghasilkan politik yang zalim kekuasaan digunakan sebagai alat semena-mena untuk membuat hukum.
Besar kemungkinan jikalau Indonesia Corruption Watch (ICW) beranggapan keputusan MA terhadap perubahan batas usia calon kepala daerah untuk memudahkan putra bungsu Presiden Jokowi yang bernama Kaesang Pangarep maju dalam pilkada 2024.
Jika begini keadaannya rakyat lagi yang merasakan dampak kezaliman sehingga hilanglah harapan mereka mendambakan pemimpin yang memihak pada rakyat.
Sejatinya rakyat akan terus menghadapi kekuasaan pemimpin yang haus akan materi selama politik yang digunakan masih demokrasi. Pada hakikatnya politik bukanlah hal kotor dan mendambakan pemimpin ideal bukanlah hal payah dengan syarat sistem politik yang dijalankan harus politik islam.
Sistem politik yang benar dalam kekuasaan hanya bisa diwujudkan dalam Kepemimpinan Islam dengan menguatkan akidah. Pandangan islam terhadap kekuasaan adalah amanah yang sangat besar pertanggungjawaban di akhirat. Rasululah saw berpesan dalam amanah kekuasaan didalam hadisnya. Rasululah saw bersabda:
“Kepemimpinan itu awalnya cacian. Kedua penyesalan dan ketiga azab dari Allah pada hari kiamat nanti kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil”. (hr. ath-Thabarani).
Pemahaman kekuasaan seperti ini yang pernah dijalani oleh Rasululah beserta para sahabat dan terakhir Sistem Kepemimpinan Islam di Turki Utsmani. Para sahabat salah satunya Umar bin Khattab menangis karena dibai’at untuk memimpin umat dalam negara Khilafah. Pemahaman pemimpin ini pula yang membuat mereka fokus segala daya upaya untuk mengurus rakyatnya.
Masalah pemilihan kepala daerah islam sudah memiliki aturan yang telah ditetapkan. Dalam kitab Ajhizah fi Daulah Khilafah, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan kepada daerah Khilafah disebut dengan wali. Seorang wali menjadi wakil Khilafah untuk memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Dia bertanggung jawab di depan Khalifah dan majelis syura beserta bisa dipecat oleh Khalifah bila diadukan majelis syura. Majelis syura adalah perwakilan umat disebuah wilayah. Untuk wilayah ( setingkat provinsi) dibagi kedalam beberapa imalah (setingkat kabupaten). Penanggung jawab imalah disebut amil.
Mengenai wewenang dan syarat amil sama seperti wali. Kinerja seperti ini pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah mudah dijalankan juga tidak memberikan dana yang mahal bahkan gratis. Kedudukan pejabat dijamin aman karena mereka dipantau oleh masyarakat sehinggan akan berjalan semestinya dan tidak ada tindakan kezaliman sebab rakyat bisa memberikan pendapat sosok pemimpin yang mereka dambakan.
Lantas bukan sembarang orang yang dapat menjalankan amanah ini. Islam telah memberikan rincian syarat menjadi seorang kepala daerah. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya asy syakhsiyah islamiyah juz 2 halaman 95 memberi 3 indikator penting yang harus dimiliki seorang pejabat yakni al-quwwah (kekuatan), at-takwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-rai’yyah (lembut terhadap rakyat) serta tidak menyakitkan hati.
Rincian tersebut akan membentuk kepala daerah yang ikhlas, mengayomi dan melayani umat dengan baik. Inilah pandangan kekuasaan dalam kacamata Demokrasi dan sistem Islam. Maka dalih apalagi yang membuat kita tetap bertahan dalam sistem Demokrasi? Wallahualam bissawab. (**)
*Penulis Aktivis Muslimah