OPINI | POLITIK
“Sangat disayangkan bahwa Pemerintah masih sangat pelit untuk rakyat kecil. Sebab, kesehatan adalah hak dan investasi bagi semua orang. Maka masyarakat berhak mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, tidak terkecuali rakyat miskin,”
Oleh : Nur Chalizah
SEORANG sopir angkot viral di media sosial lantaran bekerja sambil menggunakan alat bantu pernapasan. Aksi sopir angkot itu pun mengundang simpati publik dan ramai diperbincangkan.
Dalam video yang dibagikan oleh akun @sayaphati, seorang sopir angkot lanjut usia itu nampak menggunakan selang oksigen ketika sedang bekerja. Dari video itu terlihat dia sesekali mengalami sesak ketika bernapas.”Bapak ini mencari nafkah dengan selang oksigen di hidungnya, semangat bapak. Semoga dimudahkan dan dilimpahkan rezekinya,” tulis keterangan video itu.
Pria yang diketahui bernama Sa’at itu mengaku sudah lelah harus menjalani kesehariannya sebagai sopir angkot. Dia juga bercerita awalnya sempat menjalankan prosedur operasi di bagian paru-paru.
“Beliau ini asli dari Medan merantau sudah lama di Jakarta menjadi sopir angkot sehari-hari harus berjuang mencari nafkah karna bapak tdak mempunyai anak. Kontrakan saja sebulan 1 juta bapak narik dari pagi sampai pukul 9 malam,” demikian keterangan tersebut.
Selain harus membayar biaya tempat tinggal, pak sa’at juga harus mengisi tabung oksigen sebesar Rp30 ribu sehari untuk membantu pernapasannya. Dia juga mengaku terkadang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dimana diketahui kalau setoran angkot kisaran Rp.80.000/hari,sementara pendapatan para sopir angkot berkisat Rp.100.000 – Rp.150.000/hari. Itupun kalau penumpangnya banyak. Bahkan sekarang ini banyak yang menggunakan kendaraan pribadi atau ojol (ojek online) dari pada angkot.
Pendapatan supir angkutan umum termasuk kedalam metode Ujrah (Imbalan).Imbalan yang diperoleh untuk penggunaan kekayaan (layanan manusia) baik dalam bentuk uang atau apapun disebut sebagai pendapatan. Uang yang diberikan dan diterima sebagai imbalan atas pencapaian subjek ekonomi disebut sebagai pendapatan. Pendapatan dapat berupa pendapatan dari profesi atau bisnis individu, serta pendapatan dari kekayaan. Penghasilan dalam Islam harus sesuai dengan hukum Islam, karena Al-Qur’an menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghasilan yang layak, khususnya dalam surah An-Nisa’ ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta dengan cara curang, kecuali melalui perdagangan yang dilakukan dengan kesepakatan bersama. Dan janganlah kamu membuhuh dirimu sesungguhnya Allah maha penyayang .”
Setelah 78 tahun merdeka, Indonesia masih tidak lepas dari masalah ketimpangan sosial. Berdasarkan survei yang diluncurkan oleh lembaga riset Ipsos Global, What Worries the World, ketimpangan sosial menjadi tantangan utama yang paling dikhawatirkan oleh masyarakat Indonesia.
Ketimpangan tersebut terlihat dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendapatan, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir telah meningkatkan kemakmuran bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Namun, kemakmuran tersebut tidak merata, dan sebagian besar penduduk masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dapat kita lihat sendiri jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin ini juga bisa disaksikan dengan jelas di ibu kota Indonesia.
DKI Jakarta disebut sebagai salah satu potret nyata yang berhasil menggambarkan kampung kumuh yang dikepung gedung-gedung tinggi. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar bahkan tidak dipandang sama mereka, padahal banyak orang-orang kaya di jakarta tetapi masi banyak juga yang kesulitan untuk mencarik nafkah di ibu kota.
Dijelaskan dalam, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Tapi kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita, masi banyak orang yang kesusahan mencari nafkah dan pekerjaan,bahkan fakir miskin juga tidak ditanggung penanganannya sama negara. Seakan-akan negara tutup mata sama semuanya dan tidak mendengarkan suara fakir miskin. Apa lagi soal jaminan kesehatan.
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah masih sangat pelit untuk rakyat kecil. Sebab, kesehatan adalah hak dan investasi bagi semua orang. Maka masyarakat berhak mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, tidak terkecuali rakyat miskin. Jaminan Kesehatan Masyarakat dirasa masih terlalu memberatkan masyarakat. “Masyarakat sudah sakit masih ditanya macam-macam. Ini tidak bisa,”
Adanya kesenjangan sosial dalam pelayanan kesehatan di Indonesia seakan-akan menjawab permasalahan tentang bagaimana praktik kapitalisme itu bekerja. Kesenjangan sosial ini sebagai dampak dari adanya praktik kapitalisasi, sekaligus menjadi penyebab dari timbulnya kelas sosial masyarakat di bidang kesehatan.
Dengan kata lain, mereka akan menerima layanan kesehatannya sesuai dengan jumlah uang yang mereka keluarkan. Hal tersebut tentunya akan sangat menyulitkan mereka yang tidak beruntung dalam perekonomian.
Mereka yang tidak punya uang akan berpikir dua kali untuk memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit.lantas apa bentuk tanggung jawab negara dalam melayani kesehatan masyarakat? Mereka yang berada di pihak rakyat tentu akan melihat praktik kapitalisasi ini sebagai suatu permasalahan. Kesehatan mereka bukan lagi terjamin oleh pemerintah, melainkan terjamin oleh uang.
Saat ini umat manusia membutuhkan sistem yang shahih yang berasal dari wahyu Allah SWT, yaitu sistem politik islam yang akan mampu menjadi solusi atas segala bentuk permasalahan yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan, termasuk dalam mewujudkan sistem kesehatan yang manusiawi.
Sistem tersebut adalah sistem yang pernah diterapkan selama kurang lebih dari 13 abad yaitu khilafah islamiyah. Islam menjadikan kesehatan sebagai suatu perkara yang harus dipenuhi oleh negara.
Oleh karena itu, islam menjadikan kepentingan rakyat dan tenaga kesehatan sebagai pokok prioritas yang harus dilindungi. Rasulullah Saw bersabda; “Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR. An – Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi). (**)
*Penulis Adalah Akhtivis muslimah/Mahasiswa USU