Pupuk Sulit Sebab Penerapan Kapitalistik?

0
9
Oleh : Sutiani, A. Md/Foto : Ist.

OPINI

“Negara dalam pengelolaan bahan pokok belum dikatakan baik sepenuhnya sebab perusahaan yang mengelola alih alih pemerintah justru yang berhutang pada BUMN alhasil negara tak berkuasa dalam mematok nilai harga yang akhirnya dimonopoli oleh penguasa mafia,”

Oleh : Sutiani, A. Md

SANGAT memprihatinkan nasib petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 kilometer (km) untuk mendapatkan pupuk bersubsudi. (Beritasatu.com, 23/06/2024)

Pemerintah tercatat memiliki utang subsidi pupuk kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp12,5 triliun. Direktur Utama Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi menyebut, utang tersebut terdiri atas tagihan berjalan April 2024 sekitar Rp2 triliun dan sisanya merupakan tagihan subsidi pupuk pada 2020, 2022, dan 2023 yang belum dibayarkan pemerintah.

“Piutung subsidi kita ke pemerintah hingga saat ini totalnya ada Rp12,5 triliun,” ungkap Rahmad dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR-RI, Rabu (19/6/2024). Secara terperinci, dalam paparannya, utang pemerintah kepada PT Pupuk Indonesia atas subsidi pupuk 2020 sebesar Rp430,2 miliar, utang 2022 sebesar Rp182,94 miliar, utang 2023 sebesar Rp9,87 triliun dan utang bulan berjalan 2024 sebesar Rp1,98 triliun. Sebelumnya, utang pada 2022 sebesar Rp16,3 triliun telah dibayarkan pemerintah kepada Pupuk Indonesia pada 28 Desember 2023. (Bisnis.com, 20/06/2024)

Beberapa petani menjelaskan dari mafia saat ini harga urea per sak kemasan 50 kilogram sampai ke tangan petani mencapai Rp 260 – 270 ribu. Padahal jika mengacu pada HET satu sak urea kemasan 50 kilogram harusnya Rp 110 – 115 ribu. “Itupun barangnya (urea) sering telat kalau tidak boleh dibilang langka,” katanya.

Ini jelas tidak sesuai harga di lapangan dengan harga Permentan No 60/SR.310/12/2015 pemerintah menetapkan HET pupuk bersusidi tahun 2016 untuk urea Rp.1800 per kilogram, pupuk SP – 36 Rp. 2000 per kilogram, pupuk ZA 1.400 per kilogram, pupuk NPK 2300 per kilogram dan pupuk organik Rp 500 perkilogram. (Lingkaralam, 21/04/2024)

Masyarakat sudah memahami adanya ketimpangan tersebut disebabkan bisnis pupuk bersubsidi di toko-toko pertanian namun tidak ada tindakan tegas oleh dinas terkait atau penegak hukum.

Namun ini bukan yang pertama problem distribusi pupuk yang tidak tepat sasaran karena sangat mudah dijalankan sesuai harga Permentan jika penguasa serius melayani distribusi pupuk subsidi sampai ke tangan rakyat secara mudah dan cepat dari hulu ke hilir akan tetapi tidak akan terwujud jika masih menerapkan sistem kalitalisme yang mengatur roda perekonomian adalah para kapital.

Tidak dipungkiri problem tersebut merupakan salah satu bukti tidak berdayanya pemerintah dalam penjamin distribusi pupuk. Hal ini disebabkan negara dalam pengelolaan bahan pokok belum dikatakan baik sepenuhnya sebab perusahaan yang mengelola alih alih pemerintah justru yang berhutang pada BUMN alhasil negara tak berkuasa dalam mematok nilai harga yang akhirnya dimonopoli oleh penguasa mafia.

Negara tidak bisa berbuat apa-apa karena negara saat ini menerapkan sistem kapitalis yang mengusung kebebasan salah satunya kebebasan berekonomi.

Dari sini terlihat jelas bahwa negara tidak bijaksana dalam menyelesaikan problem rakyat dan pemerintah membiarkan para oligarki mengendalikan harga bahkan menutup celah penguasaan dalam mengurusi produksi hingga distribusi. Jadi, setiap kebijakan yang dibuat pemerintah hanya sebatas peredam, tidak sampai pada solusi yang menuntaskan.

Pada hakikatnya, akar masalah di negeri ini adalah karena masih tertancapnya sistem ekonomi kapitalisme menguntungkan pengusaha yang mengatur dan menggerakkan penguasa sesuai kehendaknya demi tercapainya cuan yang sebesar-besarnya termasuk salah satunya bagian pupuk berarti negara tidak bertanggung jawab atas pemenuhan rakyat secara universal. Jauh berbeda dengan sistem Islam, khalifah akan bertanggung jawab perihal masalah pemenuhan pupuk sesuai prinsip ekonomi Islam.

Lantas rakyat pun dengan mudah memperoleh bahan pupuk dengan murah, cepat dan tentunya terjangkau juga tidak memerlukan jarak tempuh yang jauh. Adapun kebijakan yang akan diterapkan Khilafah adalah akan melarang monopoli dengan cara menaikkan harga yang tinggi karena kinerja mereka akan dipantau. Khalifah akan berusahaan mengelola pabrik secara mandiri tanpa bergantung pada perusahaan sehingga Khalifah lah yang akan menentukan harga pasar bukan para mafia. Jikalau ada para toko pupuk menjual harga mahal maka akan diberikan tindakan lanjut yaitu sanksi tegas oleh Khalifah.

Kemudian negara akan menjaga pasokan bahan pupuk dalam negeri misalnya, memberikan para pengelola pupuk pelatihan, edukasi, modal, bahkan sarana barang jasa untuk mempermudah jalannya produksi, serta penunjang infrastruktur. Jika pasokan dalam negeri belum tercukupi maka khalifah tidak akan memberikan izin ekspor keluar. Kendati pun dalam negeri kekurangan bahan pupuk maka akan mengambil pilihan impor dari luar.

Terakhir Khilafah akan terus memantau penentuan harga pasar supaya tidak ada yang merasa dizalimi seperti monopoli, penipuan dan tindakan curang yang lainnya.

Kepemimpinan dalam Islam harus berlandaskan akidah yang kokoh tentunya. Setiap kebijakan yang diputuskan atas dasar aturan Allah SWT yang tujuannya hanya untuk menggapai ridha-Nya.

“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari).

Pengaturan perdagangan ekonomi islam wajib mengikuti syariat Islam, berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mengambil kemaslahatan rakyat. Negara sebagai penentu keputusan setiap kebijakan berlandaskan apakah bernilai strategis, nilai guna, dan bermanfaatkah untuk rakyat.

Alhasil, jika negara menjalankan peraturan tersebut, niscaya akan dapat meminimalisir harga bahan pupuk di pasaran sehingga dapat dijangkau oleh rakyat. Semua itu bisa terwujud ketika Islam bisa diterapkan secara kaffah kembali di dalam institusi sebuah negara. Wallahualam bissawab. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah