OPINI
“Program BLT bukanlah solusi lantaran selama ini belum efektif implementasinya. Mengalihkan subsidi LPG menjadi BLT hanya akan membuat kebijakan yang membuat masalah baru,”
Oleh : Saimariah Harahap
PEMERINTAH tengah mengkaji penyaluran subsidi LPG 3 kilogram (kg) menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi mengatakan penerapan subsidi langsung akan diterapkan saat mekanismenya sudah siap.
Untuk besaran BLT yang diberikan diperkirakan Rp120 ribu per bulan. Angka itu merupakan asumsi subsidi untuk volume LGP kg yang digunakan oleh masyarakat. Namun, angka tersebut katanya belum final dan masih akan dikaji.
Agung mengatakan besaran BLT tersebut masih asumsi. Pemerintah masih mengkaji secara komprehensif dari aspek ekonomi, sosial dan operasional. “Untuk menyatukan pada BLT sedang dikaji dan dikoordinasikan skemanya agar berjalan baik dan tidak menimbulkan masalah operasional,” katanya.
Namun, Agung belum bisa memastikan kapan skema subsidi BLT akan diterapkan. Ia mengatakan pemerintah akan terus memberikan perhatian dan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki skema subsidi LPG agar lebih tepat sasaran. Penyaluran LPG 3 kg memang banyak tidak tepat sasaran. Kementerian Keuangan mengungkapkan banyak orang kaya yang masih menikmati subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menyebut berdasarkan data yang dimilikinya, orang miskin yang menikmati subsidi LPG 3 kg 23,3 persen dari sasaran. Sementara, 57,9 persen pengguna LPG 3 kg lainnya adalah orang kaya. Begitu juga dengan BBM subsidi. Dari jumlah yang disalurkan 60 persen dinikmati orang kaya dan orang miskin hanya menikmati 40 persen dari total yang diberikan.
Pertamina sebelumnya memprediksi kuota subsidi LPG 3 kg tahun ini akan jebol. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan memperkirakan penyaluran LPG 3 kilogram (kg) tembus 8,38 juta metrik ton (MT) hingga akhir tahun ini. Rencana pemerintah untuk mengubah skema pemberian subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) tabung 3 kilogram (kg) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dinilai akan melahirkan masalah baru. Meskipun rencana ini masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian ESDM bersama DPR, kebijakan ini akan menimbulkan kerumitan.
Karena dalam implementasinya akan rumit, secara wacana bisa sangat efektif tentunya. Namun, implementasinya akan rumit karena antara penerima BLT dengan LPG ini, meskipun fokusnya sama pada orang tidak mampu, tetapi LPG ini kaitannya dengan produktivitas perekonomian.
Jika kebijakan itu diimplementasikan, khawatir akan berdampak pada melambungnya kenaikan harga bahan pokok. Program BLT bukanlah solusi lantaran selama ini belum efektif implementasinya. Mengalihkan subsidi LPG menjadi BLT hanya akan membuat kebijakan yang membuat masalah baru.
Meskipun negeri ini memiliki kekayaan migas, masyarakat tidak bisa menikmati manfaatnya dengan murah bahkan gratis. Karena sistem saat ini memberikan pengelolaannya diatur dan dijalankan oleh pihak swasta.
Sistem ini telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus ummat atau raa’in. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator yang membuat para pemilik modal bisa menguasai SDA dengan mudah. Sistem ini menjadi landasan dalam mengatur tata kelola negara sehingga tidak heran jika kehidupan rakyat kian menderita, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak bisa dimungkiri bahwa mahalnya harga gas LPG di negeri karena privatisasi atau swastanisasi SDA migas.
Negara sendiri hanya berpikir memberi subsidi pada aspek distribusi sehingga harga dipasar tidak mahal dan ini sudah menjadi watak negara kapitalis mengurangi subsidi energi untuk rakyat, padahal gas LPG bisa dijual dengan harga yang murah, sebab biaya produksi nya tidak semahal hari ini. Gas LPG seharga Rp 53.000 per kg sudah dihitung dengan keuntungan berkali-kali lipat yang diambil perusahaan migas, hanya saja murah nya harga gas ini tidak bisa terwujud selama liberalisasi migas masih diterapkan.
Meski negeri ini memiliki kekayaan migas namun rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah atau gratis. Karena liberalisasi migas menjadikan negara menyerahkan pengelolaan dan penjualannya kepada pihak swasta.
Konsep pengelolaan ini tentu berorentasi bisnis. Inilah fakta pengelolaan migas di sistem kapitalisme neoliberal. Perubahan kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap SDA seperti migas yang sejatinya.
Buktinya negara menganggap subsidi kepada rakyat adalah beban yang harus segera dihilangkan. Sedangkan BLT yang digelontorkan kepada rakyat jelas tidak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup yang terus meningkat. Untuk itu, makin nyata bahwa BLT hanyalah politik pencitraan.
Berbeda dengan Sistem Islam
Islam memiliki berbagai mekanisme pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan menjadikan negara sebagai ra’in (pengurus) umat. Pelayanan negara kepada rakyat akan merata, tidak dibeda-bedakan berdasarkan statusnya. Dengan begitu, negara tidak akan merasa berat untuk memberi subsidi kepada rakyatnya, baik yang miskin maupun yang kaya.
Karena dalam sistem Islam, negara akan mengelola seluruh SDA secara mandiri dan hasilnya dikembalikan lagi kepada pemiliknya yaitu rakyat, baik dalam bentuk barang ataupun pembangunan sejumlah fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit. Negara juga akan mengharamkan swasta untuk mengelola SDA yang melimpah.
Sebagai mana dalam hadist Rasulullah saw., ‘Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu Padang rumput, air, dan api.’ ( HR. Abu Dawud ).
Selain sistem ekonominya yang dilandasi akidah Islam, penguasa negara Islam (Khilafah) juga memiliki visi melayani umat. Mereka akan berikhtiar dengan maksimal dalam mendistribusikan gas kepada seluruh warga, baik yang mampu maupun yang kurang mampu.
Ekonomi misalnya dengan negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan yang cukup untuk menafkahi keluarganya. Negara akan menyantuni siapa saja yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, baik karena cacat, sakit, atau sudah lansia.
Sudah jelas peralihan subsidi LPG ke BLT ini sudah pasti hanya ingin melahirkan persoalan baru bagi kita seluruh rakyat, sistem ekonomi kapitalisme ini telah menjadikan suatu persoalan semakin parah. Untuk itu, marilah kita beralih kepada sistem ekonomi islam yang dibawah naungan khilafah adalah suatu yang jelas harus diperjuangkan, agar rakyat bisa hidup dengan tenang dan sejahtera. Wallahualam bissawab. (**)